Jumat, 22 September 2017

PELAYANAN ADMINISTRASI AKADEMIK YANG BAIK ADALAH BAGIAN DARI MUTU PENDIDIKAN TINGGI DI KALIMANTAN TENGAH (1)

PELAYANAN ADMINISTRASI AKADEMIK YANG BAIK ADALAH BAGIAN DARI MUTU PENDIDIKAN TINGGI DI KALIMANTAN TENGAH


            Beberapa hari yang lalu tepatnya Jumat, 27 Januari 2017 Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) menyerahkan sertifikat akreditasi institusi dengan predikat A Unggul kepada Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fatur Rokhman. (sumber: laman kemenristekdikti). Indikator utama yang menjadi penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dalam menetapkan kriteria unggul adalah pada peningkatan 100% pada publikasi ilmiahnya. “Unnes merupakan salah satu perguruan tinggi yang bisa dijadikan contoh dalam desain kampus yang ideal karena suasana kampus yang baik untuk belajar,” ujar M. Nasir.
            Pada kesempatan ini penulis tidak ingin membahas tentang publikasi akademik dan desain kampus yang baik. Namun ingin membahas secara kritis tentang pelayanan administrasi akademik yang baik bagi mahasiswa dan hubungannnya terhadap mutu pendidikan tinggi di Kalimantan Tengah. Sengaja dipilih Unnes sebagai contoh best practice, karena kebetulan pada tahun 2013 penulis berkesempatan untuk berkunjung beberapa hari di kampus Unnes Semarang. Kunjungan tersebut pada waktu itu bertujuan untuk menggali informasi berkaitan penyelenggaraan penjaminan mutu pendidikan di Unnes Semarang. Fokusnya lebih kepada optimalisasi Badan Penjaminan Mutu (BPM) universitas dan implementasi kebijakan penjaminan mutu universitas. Kesannya sangat baik asri dan tertata pada saat tiba di gerbang Unnes, tidak heran karena Unnes memiliki motto yang sangat kuat untuk diterapkan yakni “Universitas Konservasi”. Motto ini membawa konsekuensi bagi setiap civitas akademika untuk memiliki perhatian dan kepekaan terhadap lingkungan di sekitar kampus. Hal ini ditunjukkan dengan aturan larangan kendaraan roda 2 dan roda 4 parkir diarea dalam kampus. Namun pihak universitas sudah menyediakan tempat parkir khusus diluar area kampus. Sehingga wajib hukumnya bagi setiap civitas akademika untuk berjalan kaki menuju area/tempat yang diinginkan. Selain itu pihak universitas juga menyediakan bus yang berkeliling di seputaran area kampus setiap 15 menit sekali. Sangat tertata dengan baik. Selain itu, hal lain yang menjadi unggulan dari Unnes adalah keberadaan Badan Pengelola Teknologi dan Informasi (BPTI) yang bertugas untuk mengelola Sistem Informasi (Akademik, Kemahasiswaan, Keuangan, Kepegawaian, Perpustakaan, dll). Semua sudah terlayani melalui Sistem Informasi Manajemen (SIM). Sehingga semua kebutuhan informasi dan administrasi bagi dosen, mahasiswa, staf dan alumni telah terakomodasi melalui sistem. Bahkan setiap pimpinan unit memiliki akun masing-masing untuk mengawasi dan mengendalikan perkembangan kinerja masing-masing unit.
            Keadaan seperti inilah yang seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi perguruan tinggi di Kalimantan Tengah. Unnes bisa dijadikan sebagai contoh atau best practice. Jika ada pertanyaan: “apakah mungkin PTN dan PTS di Kalteng bisa seperti Unnes?”, jawabnya tentu bisa. Tergantung pada good will dari setiap pimpinan universitas. Ada juga yang berpendapat bahwa Unnes maupun perguruan tinggi lain di Jawa bisa baik dalam pengelolaan institusi karena lebih dekat dengan pusat pemerintahan, apakah demikian? Jawabnya tentu tidak. Saat ini perguruan tinggi di Kalimantan Tengah sudah mulai menerapkan pengelolaan akademik berbasis IT meskipun dalam lingkup terbatas (belum seluruh aspek), sebagian juga belum samasekali, dan ada juga yang jalan di tempat (sudah memiliki aplikasi tapi belum terimplementasi dengan optimal). Keluhan-keluhan dalam pelayanan administrasi akademik dan kemahasiswaan seringkali berhenti hanya pada tataran mahasiswa saja. Hanya menjadi keluhan dan obrolan di warung kopi saja. Ini tidak terlepas dari kapasitas mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya. Inefisien dalam waktu dan biaya. Inefektif dalam proses her- registrasi masih sering ditemui seperti: antrian yang panjang, menghadapi beberapa meja/loket, tidak one stop service, sikap petugas yang kurang ramah, registrasi akademik yang masih offline, dan lain sebagainya. Meski harus kita apresiasi/hormati sebagian besar PTN dan PTS telah melakukan MOU/kerjasama dengan beberapa bank pemerintah seperti: BRI dan BNI dalam pembayaran SPP/UKT. Hal ini cukup mempersingkat waktu mahasiswa dalam membayar SPP/UKT. Namun keluhan pelayanan itu bukan pada saat pembayaran di bank tetapi pada saat proses sebelum itu. Bagian dari proses internal seperti: pengambilan slip SPP/UKT, pengisian biodata mahasiswa, dan lain sebagainya. Secara teknis tentu yang lebih tahu adalah pihak universitas. Keluhan mahasiswa berupa antrian yang terlalu panjang, tempat antri yang kurang nyaman, dan beberapa hal lain sebagaimana tersebut diatas terus terjadi setiap kali pergantian semester. Biasanya pada saat semester gasal sekitar bulan Juli-Agustus dan semester genap sekitar bulan Januari-Februari.
            Untuk mewujudkan pelayanan administrasi akademik yang baik bagi mahasiswa tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak universitas saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab mahasiswa itu sendiri. Perlu kerjasama yang baik antara pihak universitas dan mahasiswa. Apa kira-kira yang bisa dilakukan oleh mahasiswa? Yaitu tidak menunda-nunda waktu pembayaran. Dari informasi dan pengalaman penulis selama menjadi pengelola akademik dan pembimbing akademik mahasiswa, ada sebagian mahasiswa yang sengaja datang ke kampus untuk mengurus her-registrasi pada saat-saat akhir pembayaran. Biasanya H-3 sebelum loket registrasi ditutup. Alasannya macam-macam, tapi yang utama biasanya menunggu ongkos dari orang tua, menunggu orang tua panen di kampung, waktu perjalanan yang berhari-hari dari kampung, dan masih banyak alasan lainnya. Jika hal ini menjadi sebuah kebiasaan dan terjadi secara masive (banyak yang beralasan demikian), tentu akan mengganggu terhadap kualitas pelayanan yang baik kepada mahasiswa. Kenapa? Karena pasti akan terjadi tumpukan atau antrian yang panjang pada saat H-3 menjelang loket her-registrasi ditutup. Dengan demikian mahasiswa punya kontribusi untuk membantu pihak universitas agar mampu mewujudkan pelayanan administrasi akademik yang baik. Terlebih lagi ketika proses her-registrasi belum bisa dilakukan secara online alias masih offline harus datang ke kampus untuk menyelesaikan administrasi. Selanjutnya apa yang terjadi ketika loket yang seharusnya sudah tutup, tetapi masih saja ada mahasiswa yang antri? Maka biasanya ada kebijaksanaan dari pimpinan universitas untuk melakukan perpanjangan masa her-registrasi, dan lagi-lagi kebijaksanaan inilah yang sering ditunggu-tunggu dan dijadikan langganan bagi mahasiswa yang selalu datang pada saat injured time. Apa dampaknya bagi proses akademik? Jawabnya: masa perkuliahan perdana biasanya molor seminggu sampai dua minggu dari kalender akademik yang telah ditetapkan. Keadaan ini tentu kurang baik dalam menjaga mutu akademik pendidikan tinggi. Biasa molor dan biasa terlambat (sedikit memperhalus istilah budaya molor, budaya terlambat).
            Pengelola pelayanan administrasi akademik biasanya diistilahkan dengan BAAK (Biro Administrasi Akademik dan Keuangan) atau sebagian PTS menggunakan istilah yang mirip dengan istilah tersebut. Biro ini bertanggungjawab dalam pelayanan administrasi akademik mahasiswa termasuk pengelolaan keuangannya. Biro ini memiliki sub unit yang bertugas melayani her-registrasi mahasiswa setiap awal semester. Dengan jumlah mahasiswa yang cukup banyak dan bahkan sangat banyak (puluhan ribu mahasiswa) sub unit ini tentu sulit untuk bekerja secara efektif dan efisien, jika tidak didukung oleh Sistem Informasi Manajemen (SIM) atau Sistem Informasi Akademik Mahasiswa (SIAM). Proses her-registrasi termasuk pendataan mahasiswa baru dan pendataan mahasiswa lama pastinya akan dilakukan secara manual (offline) tanpa melibatkan mahasiswa sendiri untuk menginput datanya. Maka yang sering terjadi her-registrasinya proses lama, data mahasiswa harus diinput oleh petugas loket, sehingga muncul antrian yang sangat panjang. Keadaan seperti ini sering ditemui oleh penulis secara langsung. Setidaknya 2 tahun terakhir. Sudah seharusnya her-registrasi mahasiswa yang meliputi: proses input biodata, pengambilan slip pembayaran SPP/UKT, input Kartu Rencana Studi (KRS), input Kartu Hasil Studi (KHS), evaluasi Proses Belajar Mengajar (PBM) dapat dilakukan secara online. Sehingga dimanapun mahasiswa berada dapat menginput sendiri, tanpa harus datang ke kampus.
            Guna menghadirkan pelayanan administrasi akademik yang baik tidak bisa dilakukan seperti membalikkan telapak tangan, dengan tiba-tiba. Perlu adanya perencanaan yang baik, perlu adanya design yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan administrasi akademik. Beberapa teman akademisi sempat bertanya: “apa yang harus diperbaiki?”. Menurut saya yang harus diperbaiki adalah Sumber Daya Manusia (SDM) secara kualitas maupun kuantitas, Standar Operational Procedur (SOP) harus diterapkan, Sistem Informasi Akademik Mahasiswa (SIAM) harus diimplementasikan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana informasi dan teknologi (IT). Keempat hal ini biasanya sudah tersedia di setiap perguruan tinggi PTN dan PTS di Kalimantan Tengah. Namun seringkali masih lemah dalam implementasinya. Bahkan tidak jarang tidak pernah dievaluasi sejauhmana perkembangannya dalam mendukung pelayanan administrasi akademik yang baik.
            Pada kesempatan ini penulis lebih banyak menyampaikan tinjauan empiris berdasarkan fakta dan peristiwa yang terjadi yang sebagian pernah disaksikan secara langsung oleh penulis. Selain persoalan operasional sebagaimana tersebut diatas, hal lain yang perlu diperbaiki adalah optimalisasi dan sikronisasi peran terhadap pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penyelenggaraan pelayanan administrasi akademik yang baik, meliputi: BAAK, UPT Puskom/BPTI, Badan Penjaminan Mutu (BPM), BEM, dan mahasiswa secara keseluruhan. Dengan demikian jika masing-masing pihak sudah berperan optimal dan dapat disinkronkan setiap kepentingannya, maka pelayanan administrasi akademik yang baik akan lebih mudah terwujud. Dan satu-satunya tools yang dapat melakukan sinkronisasi tersebut adalah keberadaan Sistem Informasi Akademik Mahasiswa (SIAM) yang unggul. Tanpa SIAM akan sulit terwujud pelayanan administrasi akademik yang baik. Tanpa pelayanan administrasi akademik yang baik, maka jalan menuju pendidikan tinggi yang bermutu akan semakin bias. Salam perubahan.

                              
                






















MENGGUGAT PARTISIPASI PUBLIK MELALUI PERDA CSR

MENGGUGAT PARTISIPASI PUBLIK MELALUI PERDA CSR
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE, M.Si
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administras FIA UB 2016




Implementasi Perda CSR
Kalteng Pos (Kalteng.prokal.co), 21 Maret 2017 memberitakan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Kota Palangka Raya Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dianggap tidak berjalan optimal. Ketua Komisi A DPRD Kota Palangka Raya Riduanto menegaskan bahwa dengan berjalannya Perda tersebut dari sisi dana CSR yang berasal dari semua pihak swasta (korporasi) dapat dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat Kota Palangka Raya dan fasilitas pendukung lainnya.
Menanggapi hal tersebut, tentu saya pribadi tidak serta merta setuju. Bagi saya, masih perlu dilakukan kajian evaluasi yang terstruktur dan sistematis untuk menilai optimal atau tidak optimal atas implementasi Perda CSR tersebut. Karena dilihat dari usianya yang masih 1 (satu) tahun sangat besar kemungkinan ada kendala/hambatan yang disebabkan oleh tidak optimalnya proses sosialisasi Perda CSR. Biasanya kebijakan baru itu diwarnai oleh “kegamangan” dari para implementornya. Seringkali dilapangan instansi terkait yang ditunjuk sebagai leading sector merasa masih belum “percaya diri” untuk menjalankan aturan tersebut. Dan biasanya nuansanya masih berkisar sosialisasi dan pembinaan bukan pada tahap penindakan atas wanprestasi dari Perda tersebut. Namun jika dalam waktu dekat ada niatan untuk mengevaluasi Perda CSR saya pikir tidak ada salahnya.
Pengertian CSR dan Jenisnya
            Selain persoalan implementasi yang dianggap masih belum optimal, hal lain yang perlu kiranya saya koreksi bahwa bentuk CSR itu tidak selalu “Uang” bisa jadi dalam bentuk yang lain. Meskipun kita juga harus melihat lagi substansi CSR dalam Perda No. 2 Tahun 2016. Namun pemahaman saya sebagai akademisi CSR itu tidak harus “Uang”. Bahkan sebenarnya tanggung jawab sosial (CSR) korporasi itu dibagi dalam 2 jenis yakni “Charity” dan “Community Development”. Charity biasanya dirupakan dalam bentuk sumbangan, donasi, hibah (uang/barang) langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal ini seringkali dilakukan ketika hari besar keagamaan (Lebaran, Natal, Nyepi, Imlek, dll). Community Development adalah bentuk lain dari CSR, yang sebenarnya lebih bermanfaat dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun jenis yang ini sangat jarang dilakukan oleh korporasi karena membutuhkan effort lebih dari korporasi dan pemerintah untuk bisa memonitor terhadap perkembangan kegiatan community development, seperti: pelatihan komputer, pelatihan konstruksi, pelatihan menjahit, pelatihan tata boga dan lain sebagainya.


Partisipasi Privat Sektor/Swasta Dalam Pembangunan Daerah
Pemerintah Daerah beserta perangkatnya hendaknya bisa menyambut Perda ini dengan baik, guna membantu meringankan tugas pemerintah dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Kolaborasi antara Pemerintah Daerah dan Korporasi akan sangat efektif dalam meningkatkan pembangunan daerah. Cuman sayangnya, pemerintah daerah dan masyarakat masih menganggap bahwa CSR itu lebih mudah diharap atau diminta kepada BUMN karena mereka adalah corporate governance. Ini adalah pemikiran yang sempit. Seharusnya CSR itu dibebankan kepada setiap korporasi yang beroperasi di wilayah administrasi Kota Palangka Raya. Sehingga tidak hanya BUMN saja tetapi swasta/korporasi yang lain juga wajib untuk memberikan CSR-nya.
Sehingga saya sebagai bagian dari masyarakat Kota Palangka Raya sangat berharap partisipasi dari para pengusaha/swasta/korporasi yang ada di Kota Palangka Raya untuk mematuhi dan menjalankan aturan sebagaimana ketentuan yang ada dalam Perda CSR.      
Efektivitas Perda Dalam Pembangunan Daerah
            Saya setuju untuk dapat lebih lanjut menilai apakah Perda CSR itu optimal atau tidak, harus dilakukan evaluasi terlebih dahulu. Kita harus melihat apakah sudah tersedia aturan pelaksana seperti Peraturan Walikota, Sumberdaya Institusi sebagai leading sector (ketersediaan pengawas), data perusahaan di Kota Palangka Raya, data CSR yang telah disalurkan, dan hasil monitoring dan evaluasi oleh instansi terkait selama 1 (satu) tahun ini. Saya berharap instansi terkait telah serius menjalankan Perda CSR tersebut. Keseriusan tersebut bisa dilihat dari ada atau tidaknya data berkaitan dengan “Perusahaan dan CSR” di Kota Palangka Raya.   



MENCARI FIGUR CALON WALIKOTA /BUPATI YANG INOVATIF DAN MASIF

MENCARI FIGUR CALON WALIKOTA /BUPATI YANG
INOVATIF DAN MASIF
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE., M.Si
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi FIA UB 2016

            Judul ini saya tulis sebagai bentuk harapan kepada para figur-figur yang telah muncul di masyarakat melalui media massa dan telah dilakukan polling terhadap mereka. Tulisan ini juga saya tujukan kepada masyarakat di Kalimantan Tengah yang akan menjadi “Juri” dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) tahun 2018. Masyarakat sebenarnya mengharapkan munculnya wajah-wajah baru dalam Pemilu Kada Walikota dan Bupati tahun 2018 di Kalimantan Tengah. Karena satu dekade terakhir ini, Pemilu Kada di Kalimantan Tengah seringkali diwarnai oleh “wajah-wajah lama itu-itu saja”. Yang terpenting juga saya tujukan kepada elit politik yang saat ini, tahun ini, mulai mempersiapkan dan membahas kepada siapa dukungan politiknya akan diberikan dalam Pemilu Kada 2018. Kepada Partai Politik saat ini adalah tahun pembuktian bahwa dukungan politik tidak perlu “mahar yang mahal”, sehingga setiap individu tidak perlu ragu untuk mengajukan dukungan politik kepada partai politik. Atau jika perlu seperti yang terjadi dukungan partai politik terhadap Ahok, partai-lah yang mendatangi dan memberikan dukungan kepada figur-figur yang dianggap unggul dalam kapasitas dan elektabilitas untuk menjadi Calon Walikota/Bupati. Mungkin nggak ya? 
            Tahun 2017 ini sebenarnya adalah “Tahun Spesial” karena pada tahun ini adalah moment pergerakan politik bagi para calon Kepala Daerah untuk menggaet/mengambil hati masyarakat konstituennya. Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari proses Pemilu Kada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 15 Februari 2017. Kita disuguhkan oleh tontonan yang begitu fenomenal dan maha dahsyat dalam konstelasi politik persaingan antara “kubu petahana” (Ahok-Djarot) dengan “kubu pendatang” (Agus-Silvy, Anies-Sandi) guna merebut kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Satu hal penting yang harus dicatat dalam upaya menggaet hati masyarakat adalah “investasi hati”. Artinya masyarakat harus disentuh jauh-jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Kita bisa belajar dari pasangan (Anies-Sandi), dimana Sandiaga S. Uno sudah berinvestasi terlebih dahulu menyentuh masyarakat dengan berbagai kegiatan UKM yang dapat menggaet hati masyarakat selama kurang lebih satu tahun. Dan terbukti efektif, hingga dapat masuk pada putaran kedua (April 2017).
            Mari sejenak kita tinggalkan soal politik praktis, sembari kita menunggu opini dari berbagai pengamat politik dadakan menjelang Pemilu Kada. Saya ingin mengajak masyarakat untuk semakin cerdas, rasional dan kaya gagasan dalam menentukan pilihan figurnya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dibutuhkan tidak hanya “popularitas” dari seorang figur Kepala Daerah (Walikota/Bupati). Akan tetapi yang lebih penting adalah kapasitasnya sebagai seorang “pemimpin publik” dalam penyelenggaraan pemerintahan. Betul memang Walikota/Bupati dipilih langsung oleh masyarakat. Tetapi setelah terpilih, maka yang dipimpin oleh Walikota/Bupati terpilih tidak hanya konstituennya saja, akan tetapi juga masyarakat diluar konstituennya beserta “gerbong birokrasi” yang menjadi pilar pemerintah daerah. Untuk itu perlulah dimunculkan berbagai gagasan-gagasan inovatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sehingga masyarakat mulai bisa menyaring dan menilai gagasan mana yang paling cocok untuk diterapkan di daerahnya masing-masing.
            Figur inovatif bagaimanakah yang kita inginkan untuk memimpin kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Kita bisa menengok beberapa cerita sukses kepala daerah dalam membangun dan memimpin daerahnya, seperti: Ridwan Kamil (Walikota Bandung) sukses dalam penataan kota dan komunikasi publik, Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) sukses dalam E-Government, penataan lingkungan hidup dan lingkungan sosial (Kompleks Dolly dibubarkan), Prof. Nurdin (Kabupaten Bantaeng) sukses dalam pembangunan agropolitan, Dedy Mulyadi (Bupati Purwakarta) sukses dalam pembangunan seni, Azwar Anas (Bupati Banyuwangi) sukses dalam pembangunan infrastruktur dan pariwisata. Dan masih banyak lagi tokoh inovatif lainnya. Untuk diketahui oleh masyarakat bahwa tokoh-tokoh inovatif tersebut diatas muncul dari berbagai latarbelakang diantaranya: birokrat, pengusaha, akademisi, dan seniman. Sehingga apapun latarbelakangnya memiliki peluang yang sama untuk menjadi calon Walikota/Bupati. 
            Penyelenggaraan pemerintahan kedepan sangat menuntut adanya inovasi dari kepala daerah. Hal ini tidak terlepas dari iklim persaingan antar daerah yang semakin kompetitif, karena didorong meningkatnya persaingan global. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa kedepan persaingan itu tidak hanya antara “negara besar dan negara kecil”, tetapi persaingan itu lebih kepada “siapa yang lebih cepat dan siapa yang lebih lambat” untuk bergerak dan berubah menjadi terbuka dan tanggap terhadap perkembangan jaman. Persaingan global akan memperebutkan aspek pangan, aspek energi, dan sumber daya manusia. Maka pemerintah daerah juga harus berlomba-lomba memenangkan persaingan tersebut.
            Namun sayangnya, kondisi geopolitik dan ekonomi politik tersebut cukup minim dipahami oleh para figur calon Walikota/Bupati. Terlebih lagi masyarakat awam, cenderung bersikap pragmatis dan primordialis. Memilih dengan alasan kekerabatan, memilih dengan alasan religi, memilih dengan alasan popularitas, dan lain sebagainya. Yang pada akhirnya kurang berimplikasi positif terhadap perubahan dan pembangunan daerah. Seperti kata bijak: “Perubahan itu pasti terjadi, namun cepat atau lambat”. Kita semua tentu menginginkan perubahan positif yang cepat, dan berdampak luas terhadap kehidupan sosial masyarakat (masif).   
            Mungkin pada kesempatan ini saya ingin memunculkan kembali berbagai ide metode inovatif dalam penyelenggaraan pemerintahan partisipatif yang disampaikan oleh Hetifah Sj. Sumarto (2009) dalam bukunya Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Inovasi untuk mewujudkan Good Governance itu sendiri, dapat diinisiasi oleh pemerintah maupun oleh mereka yang berada di luar pemerintah. Dalam beberapa kasus, inovasi merupakan gagasan bersama. Karena Good Governance menuntut adanya prasyarat,  maka inovasi dalam governance bisa merupakan prakarsa untuk membangun prasyaratnya saja dan memperbaiki mekanisme governance sendiri, yaitu mempertemukan otoritas pemerintah dan pengaruh masyarakat dalam satu arena pembuatan keputusan publik.
            Beberapa program inovatif ini dapat mulai digagas dan diterapkan di Palangka Raya dan sekitarnya. Dan bisa menjadi pilihan alternatif bagi para figur dalam melakukan “investasi hati masyarakat”. Diantaranya adalah Sarasehan Warga Kota/Kabupaten (pertemuan rutin mingguan/bulanan), Membentuk Forum Kota/Kabupaten yang berbasis pada teritori dan komunitas, Dialog Publik Interaktif (adu gagasan),  Program Interaktif Radio (menggunakan stasiun yang ada atau membuka yang baru), Pemberdayaan warga RT/RW (sejauh ini Ketua RT/RW hanya dilibatkan formalitas saja), Membentuk komunitas baru (Teman “S”, Teman “R”, Teman “A”, dan lain sebagainya). Jika beberapa program ini ramai-ramai dilaksanakan oleh para figur, maka masyarakat kita akan semakin kaya gagasan dan secara perlahan akan menjadi pemilih yang rasional. Pemilih yang mengedepan pada feasibilitas (kelayakan) program dari para calon, bukan pada aspek lain yang irrasional.

            Sehingga akhirnya warga Kota Palangka Raya dan beberapa kabupaten di Kalimatan Tengah akan dapat memilih “The best of the best figure” dan bukan “The best of the available figure”. Memilih yang terbaik diantara yang terbaik, bukan memilih yang terbaik diantara pilihan yang tersedia. Secara perlahan kualitas demokrasi di Kalimantan Tengah akan semakin meningkat. Salam inovatif!!!                

MEMILIH PEMIMPIN PUBLIK BUKAN HANYA PERSOALAN POLITIK DAN FANATIK

MEMILIH PEMIMPIN PUBLIK BUKAN HANYA PERSOALAN
POLITIK DAN FANATIK
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE., M.Si
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi FIA UB 2016
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Palangka Raya
e-mail: doddyfisip@gmail.com
 
 








           

            Pada saat penulis menyusun artikel ini, penulis sedang tersadar tentang fenomena “krisis diam” (silent crisis) dalam kepemimpinan publik. Dalam perkembangan kehidupan demokrasi yang semakin dinamis di masyarakat persoalan kepemimpinan seringkali mengalami kemajuan dan kemunduran. Hal tersebut dapat dilihat dari isue-isue yang muncul ke permukaan pada saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada). Seperti isue suku, agama, ras, golongan, rezim politik (dinasti), dan lain sebagainya. Penulis dapat merasakan atmosfer yang berbeda dalam pada masa Pemilu Kada, ketika penulis berdomisili di Palangka Raya Kalimantan Tengah dan di Batu Jawa Timur. Atmosfer ini diperkaya dengan situasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang menyita perhatian, emosi, empati banyak pihak, tidak hanya para pendukung/tim sukses, tapi juga masyarakat diluar pendukung. Bahkan banyak teman dan kerabat penulis yang sebenarnya jauh dari kehidupan politik atau pemerhati politik, tapi tiba-tiba menjadi sangat tertarik dengan perkembangan Pemilu Kada di DKI Jakarta. Ketertarikan dan perhatian itu biasanya dituangkan dalam media sosial seperti: facebook dan tweeter. Dinamika politik yang terjadi di DKI Jakarta sebenarnya bukan hal yang spesial, karena bisa jadi hal tersebut juga terjadi di provinsi, kabupaten/kota yang lain yang mungkin tidak terekspos oleh media. Menjadi sangat menarik dan fenomenal karena memang Pemilu Kada Gubernur dan Wakil Gubernur menampilkan sosok/profil/figur yang sangat dikenal oleh publik secara nasional. Sosok yang kontroversial dari salah satu calon menjadi perhatian yang sangat menarik bagi masyarakat tidak hanya di Jakarta tapi juga secara nasional.
            Pada kesempatan ini penulis tidak hanya ingin membahas Pemilu Kada di DKI Jakarta saja, akan tetapi ingin mengajak pembaca untuk memahami lebih mendalam tentang Kepemimpinan Publik. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa Pemilu Kada DKI Jakarta sangat menarik untuk dikaji secara akademis. Kepemimpinan Publik berbeda dengan Kepemimpinan Militer, Kepemimpinan Sipil, dan Kepemimpinan Privat. Secara mendasar sebagian besar dari kita hanya memahami tipe/jenis/gaya kepemimpinan pada umumnya seperti: Kepemimpinan Demokratis, Kepemimpinan Otokratis, dan Kepemimpinan Situasional. Meski diakui beberapa sumber/ahli membedakan antara tipe kepemimpinan, jenis kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan secara definisi maupun kategori.
            Leadership sektor publik jauh lebih spesifik dibanding leadership general dan bahkan lebih ekspansif dibanding leadership politics, seperti yang ditunjukkan beberapa publikasi terbaru, Van Wart dan Dicke (2007) mengemukakan beberapa tipe leadership sektor publik, yaitu organisasi (yang telah diabaikan dan dijadikan fokus), politik, dan gerakan (peran Martin Luthter King dalam gerakan sipil). Kategorisasi Morse dkk (2007) berisi leadership politik (terpilih atau angkatan tinggi, leader top government), leadership organisasi (leadership formal di dalam organisasi publik, dari “supervisor lini sampai ke atas”); dan leadership nilai publik – keluar dari pemerintah dan masuk ke governance, yang difokuskan ke “penyelesaian masalah publik” dan meliputi “leadership on-the-ground”.
            Literatur leadership sektor publik difokuskan ke leader politik, dan tidak heran, fokusnya mengabaikan perbedaan (kritis dalam sektor publik) antara leader sebagai individu dan leadership sebagai proses. Lawler (2008) menyimpulkan bahwa “fokus dari literatur leadership mengindivindukan leadership, tepatnya, melihat leadership sebagai individu yang mempengaruhi individu/kelompok lain. Leader dianggap sebagai visioner, heroik, transformasional, transaksional, karismatik, inspirasional, fleksibel, sensitif, inovatif, tapi tema yang sering dijaga adalah bahwa leadership adalah individualis”. Van Wart dan Dicke berisi beberapa karakteristik leadership yang terangkum dalam Skill, yaitu skill teknis, komunikasi, sosial pengaruh dan negosiasi, analitik, dan pembelajaran kontinyu; Sifat dan Gaya, yang bisa “manajer transaksional berorientasi-tugas” versus leader transformasional yang merubah sistem teknis secara radikal” dan entrepreneurial”, dan teknik fungsional dari leader.  
            Di tahun 2008, Morse dan Buss menerbitkan buku yang berjudul Innovation in Public Leadership Development, yang menyatakan hanya ada sedikit karya tentang level manajemen sektor publik dibanding leadership sektor politik dan militer. Mereka mengatakan bahwa masa ini adalah masa kritis bagi pengembangan leadership. Hancurnya dikotomi kebijakan/administrasi, yang berarti bahwa “principal politik memimpin dan agen administratif mengurus”, menghasilkan rekognisi bahwa leadership juga menjadi tanggung jawab manajer publik. Mereka mendeskripsikan “krisis diam” dalam pemerintah, termasuk kurangnya persiapan leader, kurangnya konfidensi publik ke pemerintah, “age bubble”, dan meningkatnya leadership politics diatas civil service. Terakhir leadership publik dirubah dari konsepsi command-and-control menuju partnership dan network.
            Secara praktis, Gubernur, Bupati/Walikota terpilih dalam sebuah proses politik yang kita sebut dengan Pemilu Kada. Dan secara praktis kita bisa menyebut mereka sebagai pemimpin politik, karena mereka telah memenangkan proses politik dengan mendapat dukungan politik dari konstituennya. Dan begitulah konstitusi kita menghendakinya. Namun setelah terpilih dan terlantik label yang disematkan tentu tidak hanya sebagai pemimpin politik tapi lebih kepada pemimpin publik. Mengapa? Karena yang harus dilayani tidak hanya pendukungnya saja atau yang memilihnya saja, tetapi semua pihak tanpa terkecuali.  Disinilah dipertaruhkan, diuji, dan dibuktikan kemampuan seorang pemimpin dalam menjaga integritas, kepentingan politik pendukung, dan kepentingan publik.
            Seorang Gubernur, Bupati/Walikota terpilih harus mampu merangkul semua pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Harus mampu menjaga tegaknya konstitusi demi berjalannya kepentingan publik, bukan hanya kepentingan politik semata. Dan seharusnya kepala daerah sekarang mampu merubah kepemimpinan publik dari konsep command-and-control menuju partnership dan network. Sehingga keterlibatan dan partisipasi publik menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Satu kajian teoritis yang disebut dengan Collaborative Governance, yang menarik kita bahas pada artikel berikutnya.
            Bicara soal fanatisme dalam Pemilu Kada biasanya tercermin dalam Politik Dinasti. Adakah hal yang aneh? Adakah hal yang salah? Seringkali pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul ketika rezim yang berkuasa sedang dirundung masalah, biasanya adalah kasus korupsi (penyalahgunaan anggaran atau penyuapan). Akhir-akhir ini kita sering melihat dan mendengar kasus-kasus tersebut. Secara etika dan psikologi sosial, Politik Dinasti tentu tidak tepat terjadi dalam negara demokrasi. Politik Dinasti menganggap seolah-olah tidak ada yang lebih baik selain garis keturunan rezim yang pernah berkuasa. Namun inilah faktanya, di beberapa daerah baik di Jawa maupun di luar jawa hal tersebut tersebut berlangsung. Pergantian pemerintahan dari Suami ke Istri, dari Ayah ke Anak, dari Paman ke Keponakan dan seterusnya. Secara konstitusi hal ini tidak dapat disalahkan karena hak politik setiap orang dan sebagian masyarakat pun tidak mempermasalahkan. Terbukti dinasti mereka tetap terpilih dalam Pemilu Kada.
            Namun terbersit pemikiran jernih dari penulis dalam melihat dinamika politik Pemilu Kada serentak 2017 adalah kelayakan Program Kerja masing-masing pasangan calon. Sekali lagi kelayakan Program Kerja masing-masing pasangan calon. Inilah yang seharusnya menjadi bahan penilaian objektif bagi para calon pemilih dalam menentukan calon pemimpin berikutnya. Pemilih seharusnya lebih bergelut dengan pemikiran, ide, gagasan, terhadap program kerja para pasangan calon dan bukan hanya mengikuti arus politik saja (pilihan parpol dan ormas) atau bahkan hanya mengikuti fanatisme politik saja (ikatan kekerabatan). Meski diakui di beberapa daerah cukup sulit menghadirkan pasangan calon yang benar-benar baru dengan program kerja yang layak. Sehingga tidak jarang mereka selalu kalah dengan petahana atau Dinasti Politik.
            Penulis menggunakan istilah “Kelayakan” Program Pasangan Calon dengan mempertimbangkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan itu harus memperhatikan kondisi eksisting yang sedang terjadi di suatu daerah. Fakta dan peristiwa yang terjadi di suatu daerah menjadi dasar dalam menyusun program kerja. Tentu dengan tetap menjaga keberlanjutan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah.  
            Untuk itu penting bagi setiap kita warga masyarakat semakin kaya pemahaman politik dalam rangka menakar dan menimbang “Kelayakan” Program Kerja para pasangan calon yang sedang berkompetisi dalam Pemilu Kada. Yang kita butuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah pasangan calon yang mampu menjadi Pemimpin Publik bukan pemimpin yang lain. Tidak hanya mampu dalam hal command-and-control tapi juga harus mampu dalam hal partnership dan network.    
            








MEMAHAMI KONSEP OPEN GOVERNMENT DI INDONESIA

 MEMAHAMI KONSEP OPEN GOVERNMENT DI INDONESIA
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE, M.Si
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administras FIA UB 2016

            Istilah Open Government muncul beberapa kali pada forum yang sangat monumental yakni Debat Terbuka yang ke-2 dan ke-3 Pemilu Kada DKI Jakarta. Waktu itu istilah Open Government beberapa kali disebutkan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3 (Anies Baswedan-Sandiaga S. Uno). Sebagai seorang akademisi di bidang ilmu pemerintahan tentu hal ini menggugah saya untuk memahami lebih lanjut tentang Open Government. Disamping itu, hal ini menjadi bahan diskusi yang sangat menarik pada saat perkuliahan di semester kedua di Program Doktor Ilmu Administrasi FIA UB. Apakah ini sebuah teori atau sebuah konsep? Mari kita kaji bersama!
            Jauh sebelum mendengar istilah Open Government, sebagai akademisi saya hanya familiar dengan istilah Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Teori ini pun sering saya sampaikan di kelas kepada mahasiswa ilmu pemerintahan. Begitu juga pada saat pembimbingan karya tulis skripsi, mahasiswa cukup banyak menggunakan istilah Good Governance sebagai Grand Theory (teori utama) dalam membedah permasalahan empiris yang sedang dikaji berkaitan dengan penyelenggaraan politik dan pemerintahan.
            Pada perkembangan selanjutnya teori ini berkembang tidak murni pada bidang ilmu pemerintahan tetapi lebih tepatnya berkembang pada ilmu administrasi. Dimana diawali dengan munculnya istilah OPA (Old Public Administration), NPA (New Public Administration, Frederickson, 1950an-1970an) NPM (New Public Management, David Osborne, 1980an), NPS (New Public Service, Denhardt&Denhardt,), Kepemerintahan (Governance), NPG (New Public Governance, Stephen P. Osborne, 2010), Kolaboratif Pemerintahan (Collaborative Governance, Donahue&Zechhauser,2011)), Kemitraan Pemerintahan (Partnership Governance), dan saat ini muncul istilah Pemerintah Yang Terbuka (Open Government).
            Secara terminologis governance dimengerti sebagai kepemerintahan, sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa governance adalah sinonim government. Interpretasi dari praktik-praktik governance selama ini memang lebih banyak mengacu pada perilaku dan kapasitas pemerintah, sehingga good governance seolah-olah otomatis akan tercapai apabila ada good government. Berdasarkan sejarah ketika istilah governance pertama kali diadopsi oleh para praktisi di lembaga pembangunan internasional, konotasi governance, yang digunakan memang sangat sempit dan bersifat teknokratis di seputar kinerja pemerintah yang efektif: utamanya yang terkait dengan manajemen publik dan korupsi. Oleh sebab itu, banyak kegiatan atau program bantuan yang masuk dalam kategori governance tidak lebih dari bantuan teknis yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik dan mendorong adanya pemerintah yang bersih (menghilangkan korupsi). (Sumarto, 2009)
            Sejatinya konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi. Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka”, maka governance adalah “kita”. Menurut Leach & Percy-Smith (2001) dalam Sumarto (2009), Government mengandung pengertian politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari ‘kita’ adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah”, kita semua adalah bagian dari proses governance.
            Sebagaimana penjelasan tersebut diatas, maka akan lebih tepat jika istilah “Open Government” berubah menjadi “Open Governance”, karena makna Governance mengandung pengertian sebagai sebuah “proses” dan sebagai sebuah “inklusivitas”. Sedangkan government cenderung dimaknai sebagai sebagai sebuah “struktur atau institusi” dan bersifat “eksklusif”. Meski demikian pemaknaan “Open Government” harus juga memperhatikan latarbelakang munculnya konsep tersebut.         
            Istilah umum dari sebuah “Open Government” adalah suatu level tertinggi dari mekanisme dan transparansi dari tempat pemeriksaan dan pengawasan publik, dengan menekankan pada akuntabilitas pemerintah. Transparansi dianggap sebagai ciri tradisional dari sebuah “Open Government”, dengan maksud bahwa publik harusnya memiliki akses kepada pejabat pengelola informasi dan mendapatkan informasi yang cukup dari berbagai sumber pemerintah. Dewasa ini, definisi dari “Open Government” telah diperluas kepada harapan untuk meningkatkan partisipasi dan kolaborasi masyarakat dalam pemerintahan melalui berbagai sarana dan prasarana modern, yakni “Open Technologies”. (opensource.com)
            Ketika pemeriksaan dan kritik atas pemerintah sebagai sebuah tradisi dalam kehidupan sosial masyarakat, gagasan atas transparansi dan akses kepada informasi pemerintah adalah sebuah ide modern yang lumrah, yang dapat dilacak pada masa perkembangan “Penerangan dan Pengetahuan” abad 17 dan abad 18.    Hak dan kebebasan untuk berbicara, berekspresi, berkumpul, dan jurnalistik (pers) diatur dalam undang-undang di berbagai negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Hak Asasi ini melatarbelakangi pada terbentuknya pemerintahan yang terbuka dan akuntabel pada masa itu, dan hingga sekarang tetap dianggap sebagai sebuah gagasan modern.
            Beberapa tahun terakhir, harapan dan definisi dari “Open Government” telah berubah, saat ini informasi tersedia begitu bebasnya dan selalu tersedia di media internet. Setiap institusi pemerintah memiliki website masing-masing guna menyampaikan berbagai informasi kepada publik/masyarakat berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya.
            Praktek “Open Government” di Indonesia saat ini telah dimulai sejak tahun 2016. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah dikedepankan dengan mempermudah akses masyarakat untuk ikut memeriksa dan mengkritisi atas kerja dan kinerja pemerintah. Pemerintah saat ini telah mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mengawasi, memeriksa, dan melaporkan atas kinerja pemerintah yang dianggap menyimpang atau melanggar aturan hukum yang berlaku. Hal ini ditandai dengan menyediakan media aduan masyarakat pada setiap laman/website institusi pemerintah yakni: kanal “LAPOR”. Kanal ini dapat digunakan masyarakat untuk menyampaikan aduan/keluhannya atas kinerja institusi pemerintah yang bersangkutan. Praktek “Open Government” tersebut terus diperluas dengan melibatkan seluruh insitusi pemerintah di berbagai bidang seperti: Pendidikan, Kesehatan, Keuangan, Parlemen dan Lingkungan Hidup serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
            Akses pemeriksaan dan kritisi masyarakat kepada pemerintah yang disampaikan melalui jaringan internet tentu memiliki keterbatasan. Sehingga harapannya kedepan dapat diperluas lagi jaringannya sehingga dapat menyentuh lapisan masyarakat yang paling bawah, yakni Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa. Dan jika memungkinkan masyarakat juga dapat memeriksa dan mengkritisi aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Tidak hanya terpaku pada institusi pemerintah yang memberikan pelayanan publik secara langsung kepada masyarakat. Selain itu proses “verifikasi” dan “validasi” atas laporan masyarakat harus dilakukan dengan benar, sehingga tidak sampai menimbulkan persoalan baru yakni “hoax” dan “fitnah” yang dapat merusak rasa keadilan masyarakat.
            Sehingga akhirnya saya berpendapat bahwa “Open Government” adalah sebuah konsep yang masih harus dikaji dan diuji dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Mungkin konsep ini sudah cukup berkembang di Eropa Barat dan Amerika Serikat, namun kondisinya bisa berbeda jika diterapkan di Indonesia. Bisa sukses dan bisa juga sebaliknya?     

             































“KRISIS DIAM” DALAM BIROKRASI PEMDA

“KRISIS DIAM” DALAM BIROKRASI PEMDA
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE., M.Si
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administras FIA UB 2016
E-mail: doddyfisip@gmail.com
            Kalteng Pos (kalteng.prokal.co), Jumat, 24 Februari 2017 memberitakan bahwa Rapat Evaluasi Perda yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kota Palangka Raya terpaksa ditunda, disebabkan hanya dihadiri satu orang Kepala Dinas (Satpol-PP). Sedangkan lainnya tidak datang tanpa penjelasan. Muncul pertanyaan, sejauhmana keseriusan Pemerintah Kota Palangka Raya untuk mengevaluasi tujuh Perda yang dianggap tidak efektif dalam implementasinya?
            Tujuh Perda tersebut meliputi Perda No. 12 Tahun 2011 tentang Izin Usaha Burung Walet, Perda No. 18 Tahun 2013 tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan , Perda No. 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Perda No. 23 Tahun 2014 tentang Retribusi Izin Tempat Minuman Beralkohol, Perda No. 23 Tahun 2014 tentang RPJMD Kota Tahun 2014-2018, Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahan .Terhadap Masyarakat dan Pemerintah, serta Perda tentang Perusahaan Daerah Air Minum.
            Beta Syailendra (Ketua Baperperda DPRD Kota Palangka Raya) mengatakan bahwa substansi dari masing-masing Perda itu sebenarnya sudah bagus, namun implementasinya tidak maksimal, karena ditemukan banyak masalah. Seperti tidak adanya Peraturan Walikota (Perwali) sebagai aturan pelaksananya. Prasarana dan sarana yang tidak mendukung. Minimnya partisipasi masyarakat dalam mematuhi Perda yang telah ditetapkan.
              Sebagai seorang akademisi (Pemerhati Kebijakan Publik) dan bagian dari masyarakat Kota Palangka Raya tentu merasa prihatin mendengar berita ini. Sepengetahuan saya untuk membuat sebuah Peraturan Daerah itu biayanya sangat mahal dan memerlukan waktu yang panjang sebelum ditetapkan dan diundangkan. Proses penyusunan naskah akademis yang begitu panjang dan komprehensif dari berbagai aspek (yuridis, politis, sosiologis, ekologis, dan historis) wajib menjadi bahan kajian dalam membentuk sebuah Perda. Bahkan tidak jarang harus dilakukan studi banding ke daerah lain yang sudah sukses dalam mengimplementasikan sebuah Perda. Namun sangat disayangkan jika kerja keras dan biaya yang tidak sedikit tersebut harus mentah atau mental pada tahap implementasi disebabkan karena sesuatu hal yang belum jelas,  karena memang belum dievaluasi, maka tentu ini adalah bentuk “pemborosan” terhadap “uang rakyat”. Perda dibentuk dan ditetapkan dengan bersumber dari APBD yang sebagian sumber pendapatannya didapatkan dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Yang artinya “Uang Rakyat-lah” yang digunakan untuk membentuk sebuah Perda. Yang pernah saya dengar untuk membentuk sebuah Perda yang memenuhi syarat dan ketentuan peraturan perundangan membutuhkan tidak kurang dari setengah milyar rupiah. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat melihat kondisi seperti ini? Jawabnya: Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat, karena Pemerintah Kota Palangka Raya sebagai implementor utama dalam setiap implementasi Perda, ini adalah domain Pemko. Sehingga mereka harus bersedia untuk duduk bersama DPRD Kota Palangka Raya sebagai wakil dari rakyat Kota Palangka Raya guna mengevaluasi setiap Perda yang dianggap tidak efektif. Pemerintah Kota Palangka Raya harus lebih terbuka dan sportif dalam menyampaikan berbagai kekurangan dan kendala baik dari sisi aturan pelaksana maupun dukungan prasarana dan sarana.  
            Kondisi seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Pemerintah Kota Palangka Raya, di berbagai daerah lain pun juga sama. Perhatian dan kepedulian dalam mengevaluasi setiap kebijakan publik sangat minim adanya. Entah apa yang menjadi penyebabnya? Apakah takut disalahkan atau “dikambing-hitamkan” ataukah karena memang tidak mengetahui secara persis persoalan-persoalan teknis operasional di lapangan yang menyebabkan Perda tersebut tidak efektif.
            Saya menduga saat ini sedang terjadi “Krisis Diam” dalam birokrasi Pemerintah Daerah. Baik kabupaten/kota maupun provinsi. Istilah “Krisis Diam” dimunculkan oleh Goldsmith dan Eggers (2004) seperti yang dikutip dalam Morse dan Buss (2008). Ini adalah persoalan kritis dalam pengembangan kepemimpinan birokrasi Pemerintah Daerah. Morse and Buss menekankan bahwa dikotomi kebijakan tidak boleh menghalangi proses administrasi yang berjalan. Pemimpin publik wajib bertanggungjawab pada setiap proses administrasi publik. Karena pada hakekatnya “pemimpin publik” adalah “manajer publik”. Dalam hal ini setiap Kepala Dinas (SKPD) adalah “pemimpin publik” sekaligus “manajer publik”. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa Kepala Dinas (SKPD) terkait tidak mengetahui persoalan-persoalan fungsional baik internal maupun eksternal instansi yang dia pimpin berkaitan dengan implementasi Perda tersebut.
            “Krisis Diam” ini bukan persoalan mudah untuk diatasi. Meski kita dapat dengan mudah menunjuk bahwa hal ini adalah tanggungjawab Kepala Daerah (Walikota/Bupati). Kepala Daerah-lah yang harus bertanggungjawab untuk memberikan contoh sikap terbuka dan sportif dalam mengevaluasi atas implementasi Perda yang tidak efektif. Walikota/Bupati harus mampu mendorong setiap Kepala Dinas (SKPD) untuk mampu mengidentifikasi dan mencari solusi atas kendala implementasi sebuah Perda. Sehingga Walikota/Bupati harus merubah pola kepemimpinan publik dari command-and-control menuju partnership dan network. Pemerintah Daerah harus lebih membuka ruang bagi partisipasi masyarakat baik secara pasif maupun aktif dalam mengkritisi setiap kinerja sebuah kebijakan publik (Perda).
            Dengan demikian konsep yang dijalankan tidak cukup hanya Good Governance yang seolah-olah mengartikan bahwa Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten/Provinsi) adalah seorang yang selalu jujur/tidak korupsi, ramah, dan melayani, tetapi dituntut lebih dari itu. Pemerintah Daerah harus lebih terbuka dan akuntabel dalam level yang lebih tinggi  lagi. Atau diistilahkan dengan “Open Government”. Begitu juga masyarakat harus lebih kritis dan proaktif dalam menyampaikan kritik dan solusi atas kegagalan implementasi sebuah Perda. Sebenarnya saya tidak heran mengetahui kondisi ini karena berdasarkan fakta di lapangan yang saya peroleh dari hasil penelitian mahasiswa, sebagian besar informasi valid dan komprehensif didapatkan dari level Kabid (Kepala Bidang) kebawah (sampai staf pelaksana). Sedangkan informasi dari Kepala Dinas cenderung tidak menyentuh persoalan substansi implementasi sebuah kebijakan publik. Kepala Dinas hanya mengetahui persoalan-persoalan normatif saja seperti latarbelakang regulasi implementasi kebijakan publik (Perda). Ini adalah bagian dari “Krisis Diam” dalam Birokrasi Pemerintah Daerah.
            Nah sekarang, apa yang terjadi jika para Kepala Dinas yang diundang dalam Rapat Evaluasi Perda di DPRD Kota Palangka Raya akhirnya tidak pernah datang. Apakah akan terjadi gempa bumi? Jawabnya: “tentu tidak”. Apakah ini kemudian “dibiarkan” atau “didiamkan”? Jawabnya: Bisa “Ya” bisa juga “Tidak”. Jika “Ya” maka memang betul-betul terjadi “Krisis Diam” dalam birokrasi Pemda.            

















RURAL LOCAL GOVERNMENT SYSTEM IN INDONESIA: Recent Issue on Making Authonomy Local by Fiscal Decentralization

RURAL LOCAL GOVERNMENT SYSTEM IN INDONESIA: Recent Issue on Making Authonomy Local by Fiscal Decentralization

Author I (Mochamad Doddy Syahirul Alam)a[1], Author II (Bhayu Rhama) b

a University of Palangka Raya, Faculty of Social and Politics, Department of Government Studies, Yos Sudarso Street, Palangka Raya, Indonesia, Email: doddyfisip@gmail.com
b University of Palangka Raya, Faculty of Social and Politics, Department of Public Administration, Yos Sudarso Street, Palangka Raya, Indonesia, Email : bhayu_rhama@yahoo.com


Abstract
Since the end of 2014, Indonesian government did enlarge village autonomy in order to accelerate rural prosperity. One of the way is giving fiscal decentralization larger space to village government to accomodate the public demand. The good news is the number of funding on village expenditure is bigger than before. By Law number 6 /2014 every village in Indonesia have around 1 million rupiahs to fund village operational and development. Head of Village Government and BPD also local people involved to decide the purpose and the way to spend the money. The village which have qualified capacity building tend to be successful in their program, but in other side there are many village didn’t have qualified capacity building and they don’t know how the way to start and to spend their money. This is a challenge to the government to improve village government capacity building. They must have good capacity building, good availability, and good ability in personal, group, and organization.
Keywords: Rural, Local Government System, Indonesia
Introduction
Local authonomy was run rapidly in Indonesia since 2001. Local authonomy means central government giving larger authority, more real, and more responsible. Especially in arranging enable, and explore some potential resources in their own authority. By the local authonomy, thus expected that economic development in their own local authority getting better and better. No one economic lack among the authority, because every one enable to achieve prosperity by exploring and take advantages of their own resources.

By local authonomy, so that government who centralized before have been changed to decentralized into many municipality. In Indonesia decentralizing process was running till at present. There were four type decentralization in Indonesia: political decentralization, fiscal decentralization, administrative decentralization, and economic decentralization. All of them will be integrated one another.

Fiscal decentralization is one of the actualization between government and local government relationship. To achieve the goal of fiscal decentralization, so that have been developed by grand design of fiscal decentralization itself, whereby fiscal decentralization that want to achieve in 2030 was “Efficient National Local Allocation Resources by Transparent and Accountable Government and Local Government Relation”.

In fiscal decentralization road progress in Indonesia, government try as much as they can do to ensure that vision of fiscal decentralization can be achieved. One thing that government strived in order to government and local government relation to be transparent and accountable so that national resources allocation can run efficiently by enlarge local authonomy based. Therefore government perform Law Number 6, 2014 about Village. The main core of the policy was admitted village as local authonomy. So that village have been given entire authonomy to take advantages of the resources. By taken advantages of village’s resources such as financial authonomy entirely by village government, so that the purpose that defined in fiscal decentralization vision can be achieved maximum.

Villages
According to Kartodikusuma, village is a unity of law whereas live a group of people with their own government (Ahmadi, 2003). Whereas according to Bintaro, village is a manifestation or unity of geography, social, economy, politic and culture which extent in a place, in the relationship and the influence reciprocal with the others place.

According to Paul H. Landis, as quoted by Ahmadi (2003), village is a territory the people number is less than 2.500 people. And the nature is: a) to behave behavior knowing each other among thousands people; b) there is sense of belonging each other which related with tradition or culture; c) have livelihood with strong relationship and influenced by the nature, such as climate, nature condition, wealth of nature, then livelihood except agraris is just a side job.

Most of the government policy that related with village development prioritize pure purpose, such as fighting poverty, shifting village’s face physically, giving social village service, till empowering the people and village government to be more modern. Unfortunately a row of the purposes only stopped on the paper. Because village only being an object by the actor of village development project, where the benefit only took pleasure in by the actor.      

Making authonomy local
Fiscal decentralization was given to local government in order to explore the income resources, rights to transfer from higher government, and determine routine expenditure and investment. Shortly, local government was given opportunity to determine regulation in their own budget. Several purpose of fiscal decentralization: first, to reduce fiscal gap between central government and local government (vertical fiscal balance) and among the local government (horizontal fiscal imbalance); second, to increase public service quality among local government; third, to increase efficiency of national resources usage. By fiscal decentralization, thus expected financial management being transparent and accountable and also the transferring process to local government being objective, on time, efficient, and fair.

Fiscal decentralization was one of the implementation of relationship between central government and local government. Some regulation was performed as fiscal decentralization policy. First policy performed was Law number 22 and number 25/1999 which consist of Dana Alokasi Umum (DAU) – general allocation funds, Dana Bagi Hasil (DBH) – revenue sharing, and giving limited authority in tax to local government. Furthermore, that regulation was amendment and change to Law number 32/2004 and Law number 12/2008 which the main point was focused on monitoring mechanisme by central government and improvement accountability of local government expenditure. Fiscal decentralization policy change was as a reflection that fiscal demand in local government being bigger and bigger.  

In the grand design, vision of Indonesian fiscal decentralization was “Efficient National Resources Allocation by Transparent and Accountable Relationship between Central Government and Local Government”. To achieve that vision, there were some mission that determined by government: first, Developing financial relationship between government and local government that minimizing the lack of vertical and horizontal; second, Developing local tax system that support efficient national resources allocation; third, Developing freedom of action in accountable local expenditure to achieve minimum service standard; fourth, Harmonize government and local government expenditure in order to achieve optimum public service performance.

In line with vision and mission of fiscal decentralization and to solve fiscal demand in local government that being increasing, so that in 2014 government legitimize Law number 6/2014 about village. Before that regulation, there was Law Number 32/2004 and Law number 12/2008 which state that village belong to district government.
To know more about fiscal decentralization in the government village, so it can take look from village financial administration system start from arranging process Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) - The village budget revenue and expenditure plans decided. From that process we can see the difference of village decentralization before and after Law number 6/2014 implemented.           

Before Law Number 6/2014 implemented
In Minister of Domestic Affair Regulation number 37/2007, able to see the process of arranging to the village income and expenditure budget  and decided. In that regulation able to see that the draft of the village income and expenditure budget arranged by referring to Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP) – village development work plan that was defining of Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) – village mid-term development plans. The village mid-term development plans arranged by Head of Village Government based on his vision and mission while elected. From The village mid-term development plans defined into RKP that arranged by direct local people participation in musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) – village development planning deliberations.

By draft of the village income and expenditure budget arranging process as well, it should be told that draft of the village income and expenditure budget was aspiring and tend to public interest because in the first step arrangement was involved the people directly. But, because village decentralization was limited, so that draft of the village income and expenditure budget must report to regent/major first to be evaluated. If regent/major approve, or evaluation pass the time limit, so that Head of Village Government may decide the draft to be the village income and expenditure budget. If draft of the village income and expenditure budget considered not suitable with public interest or breake the law and higher regulation, so that regent/major will order to Head of Village Government and Badan Permusyawaratan Desa (BPD) – village deliberation body to improve it. If Head of Village Government and BPD do not do improvement and still decided, regent/major will postpone and implement the previous period the village income and expenditure budget ceiling by peraturan bupati/walikota - regent/major regulation.

Another side, village expenditure consist of direct expenditure and indirect expenditure. Direct expenditure consist of employee expenditure, good and service expenditure, and also capital expenditure. Indirect expenditure consist of employee expenditure, subsidy expenditure, grant expenditure, social help expenditure, financial help expenditure, and unexpected expenditure.

In defraying side, village budgeting consist of revenue budgeting and expenditure budgeting. Revenue expenditure able consist of  Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berjalan (SILPA) – remaining more financing of current year’s budget in the previous year, a meltdown of storage fund, the result of selling of the village affluence that have been divided, and a loan revenue. Whereas expenditure budgeting consist of the arrangement of storage fund, village taking part in capital, and debt payment.

In Minister Domestic Affair Regulation number 37/2007 also explained about Alokasi Dana Desa (ADD) – allocation of village funds. Primary, the goals and function ADD is the same with DAU that is in order to reduce the gap of development among the villages in decentralization context and in order to accelerate fighting poverty. ADD resources came from Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) – budget for regional income and expenditure that based on counterbalance budget which district/city gained 10%. Counterbalance budget means consist of tax sharing budget and natural resources plus DAU. ADD almost the same with DAU, consist of two items, that are Minimum and ADD Proportional. Minimum ADD decided 60% of total ADD, whereas proportional ADD decided 40% of total ADD. Every village will get minimum ADD, whereas proportional ADD only given to village which have high poverty rate, education rate, health rate, and marginal infrastructure. So that more higher poverty rate in a village, more higher they get proportional ADD. ADD usage itself have been decided based on usage percentage which is 30% for aparature expenditure and village government expenditure, which is 70% for people empowerment budget such as facilitation maintainance, environtment and settlement, and also food purchasing endurance.

Related to the village income and expenditure budget accountability, Head of Village Government give report as the realization of the village income and expenditure budget to regent/major through Head of Subdistrict at least one month after the end of budget year.     






Figure 1
Type of Fiscal Decentralization Model Before Law number 6/2014
 





















After Law Number 6/2014 implemented
The implementation of Law number 6/2014 felt as a fresh wind for the village people. This regulation being a fundamental yurisdiction to be confessed of the village existention as autonomy territory. In the relationship with fiscal decentralization there are two main points of Law number 6/2014; first, related to 10% allocation budget of Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) – state budget for all the village in Indonesia, whereas predicted that every village will get budget around 1 million rupiahs per year; second, budget sharing that almost the same 1 million rupiahs, although the capacity of village government was variative. This problem will be anticipated by some fiscal decentralization regulations that regulate the number of village budget based on demand and also the ability to manage by government regulation.

As the operational regulation of Law number 6/2014, so government also publish Government Regulation number 43/2014. This regulation set up some rule in the relationship with fiscal decentralization.

Related to The village income and expenditure budget arrangement, there is a different principle between Government Regulation number 43/2014 with Minister Domestic Affair Regulation number 37/2007. The main different thing is on the authority of Head of Village Government in order to decide The village income and expenditure budget. In Minister of Domestic Affair Regulation number 37/2007, the people who have right to decide The village income and expenditure budget is regent/major. But in Government Regulation number 43/2014, the draft of the village income and expenditure budget that prearrange by head of government village and BPD then asking for evaluation to regent/major. Regent/major can delegate obligation to evaluate draft of the village income and expenditure budget to Head of Subdistrict. Then the decision making of the village income and expenditure budget did by Head of Village Government at least December 31st.

Related to the village mid-term development plans, in Government Regulation number 43/2014 The village mid-term development plans arranged by village government with perform participative musrenbangdes. BPD and local people, using for orientation to the village mid-term development plans and at least contented vision and mission of Head of Village Government. The village mid-term development plans will define into RKP Desa and used to the village income and expenditure budget arrangement.

Related to village income, there is additional point in Law number 6/2014 that is except of all kind of revenue that noted in Minister of Domestic Affair Regulation number 37/2007, village revenue sourced to APBN and the others legal revenue. Allocation of APBN sourced to central government expenditure by making effective program based on village commonly prevalent and equality. In Law number 6/2014 also decide that tax reveneue sharing and local retribution regency/city at least 10% of revenue realization giving to the village, whereas in Minister of Domestic Affair allocation as big as 10% only arranged sharing revenue in tax. The allocation of tax revenue and retribution based on the regulation as big as 60% divided in average to all over of the village and 40% divided by proportional as big as their contribution on tax revenue and retribution. Related to ADD given at least 10% of counterbalance that received by regency/city in APBD after detracted by DAK.

Related to village expenditure, regulated that village expenditure prioritized to fulfill the demand of development that agreed in village meeting and according to the priority of local government (regency/city), province government, and central government. In Government Regulation number 43/2014 define more that village expenditure used to the rule at least 70% to fund village government performance, building up village society, and village people empowerment; and also at least 30% used to fixed income and incentive for Head of Village Government and the staffs, village government operational, incentive and operational budget for BPD, and also incentive for RT – neighborhood association and RW – citizens association. Concerning related to village funding not defined detail in Law number 6/2014 neither in government regulation number 43/2014.




Figure 2
Type of Fiscal Decentralization Model After Law number 6/2014

 



















Acknowledgements
Related to ADD there is difference among before and after implementation of Law number 6/2014. After Law number 6/2014 implemented, ADD to behave at least 10% of counterbalance that received by regency/city in APBD after dectracted DAK. Concerning related to minimum ADD and proportional didn’t define yet more in regulation.

Related to the village income and expenditure budget accountability, Head of Village Government deliver two kind of report, namely the village income and expenditure budget realization report per semester maximum in the end of July  and the end of January also annual the village income and expenditure budget realization report every the end of the budget year. The reports deliver to regent/major by Head of Subdistrict.



Conclusion
Fiscal decentralization in village autonomy getting improved especially by the born of Law number 6/2014 about village and Government Regulation number 43/2014 about the implementation of Law number 6/2014 about village. The born of the regulations so that the coverage of fiscal decentralization in the village getting larger. In fiscal decentralization scoupe, village gain additional income having a form allocation from APBN and the other legal revenue. Beside that there are some regulations that more detail related to village expenditure and ADD. The accountability of the village income and expenditure budget also expected to be more transparent and accountable as well as vision and mission of fiscal decentralization itself. But that things will not reached if not followed by the strengthening of village government, availability, and ability of the staffs and local people. If the capacity, availability, and ability of village government and local people being affirmed so that the purpose of village autonomy commonly and the purpose of fiscal decentralization particularly can be reached maximum.

References
Aini, R. N. (2014). Desentralisasi Fiskal Pada Otonomi Desa. Jurnal Ilmiah.

Ahmadi, Abu, Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta.

Indonesia, R. (2007). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

TP, M.Si, Dr. Yansen. 2013. GERAKAN DESA MEMBANGUN. Sebuah Ide Inovatif Tentang Pembangunan Desa. Malang: PT. Danar Wijaya.

Nomor, P. P. (43). Tahun 2014 Tentang eraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Desa. LN Nomor, 123.

No, U. U. (22). Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah.

No, U. U. (32). Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah.

No, U. U. (6). Tahun 2014 tentang Desa. Penerbit Sinar Garafika Jakarta.

Soeprapto, Riyadi. "Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah Menuju Good Governance." Jurnal Ilmiah Administrasi Publik FIA Universitas Brawijaya, Nomor 4 (2003): 2003.