Jumat, 22 September 2017

MEMILIH PEMIMPIN PUBLIK BUKAN HANYA PERSOALAN POLITIK DAN FANATIK

MEMILIH PEMIMPIN PUBLIK BUKAN HANYA PERSOALAN
POLITIK DAN FANATIK
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE., M.Si
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi FIA UB 2016
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Palangka Raya
e-mail: doddyfisip@gmail.com
 
 








           

            Pada saat penulis menyusun artikel ini, penulis sedang tersadar tentang fenomena “krisis diam” (silent crisis) dalam kepemimpinan publik. Dalam perkembangan kehidupan demokrasi yang semakin dinamis di masyarakat persoalan kepemimpinan seringkali mengalami kemajuan dan kemunduran. Hal tersebut dapat dilihat dari isue-isue yang muncul ke permukaan pada saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada). Seperti isue suku, agama, ras, golongan, rezim politik (dinasti), dan lain sebagainya. Penulis dapat merasakan atmosfer yang berbeda dalam pada masa Pemilu Kada, ketika penulis berdomisili di Palangka Raya Kalimantan Tengah dan di Batu Jawa Timur. Atmosfer ini diperkaya dengan situasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang menyita perhatian, emosi, empati banyak pihak, tidak hanya para pendukung/tim sukses, tapi juga masyarakat diluar pendukung. Bahkan banyak teman dan kerabat penulis yang sebenarnya jauh dari kehidupan politik atau pemerhati politik, tapi tiba-tiba menjadi sangat tertarik dengan perkembangan Pemilu Kada di DKI Jakarta. Ketertarikan dan perhatian itu biasanya dituangkan dalam media sosial seperti: facebook dan tweeter. Dinamika politik yang terjadi di DKI Jakarta sebenarnya bukan hal yang spesial, karena bisa jadi hal tersebut juga terjadi di provinsi, kabupaten/kota yang lain yang mungkin tidak terekspos oleh media. Menjadi sangat menarik dan fenomenal karena memang Pemilu Kada Gubernur dan Wakil Gubernur menampilkan sosok/profil/figur yang sangat dikenal oleh publik secara nasional. Sosok yang kontroversial dari salah satu calon menjadi perhatian yang sangat menarik bagi masyarakat tidak hanya di Jakarta tapi juga secara nasional.
            Pada kesempatan ini penulis tidak hanya ingin membahas Pemilu Kada di DKI Jakarta saja, akan tetapi ingin mengajak pembaca untuk memahami lebih mendalam tentang Kepemimpinan Publik. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa Pemilu Kada DKI Jakarta sangat menarik untuk dikaji secara akademis. Kepemimpinan Publik berbeda dengan Kepemimpinan Militer, Kepemimpinan Sipil, dan Kepemimpinan Privat. Secara mendasar sebagian besar dari kita hanya memahami tipe/jenis/gaya kepemimpinan pada umumnya seperti: Kepemimpinan Demokratis, Kepemimpinan Otokratis, dan Kepemimpinan Situasional. Meski diakui beberapa sumber/ahli membedakan antara tipe kepemimpinan, jenis kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan secara definisi maupun kategori.
            Leadership sektor publik jauh lebih spesifik dibanding leadership general dan bahkan lebih ekspansif dibanding leadership politics, seperti yang ditunjukkan beberapa publikasi terbaru, Van Wart dan Dicke (2007) mengemukakan beberapa tipe leadership sektor publik, yaitu organisasi (yang telah diabaikan dan dijadikan fokus), politik, dan gerakan (peran Martin Luthter King dalam gerakan sipil). Kategorisasi Morse dkk (2007) berisi leadership politik (terpilih atau angkatan tinggi, leader top government), leadership organisasi (leadership formal di dalam organisasi publik, dari “supervisor lini sampai ke atas”); dan leadership nilai publik – keluar dari pemerintah dan masuk ke governance, yang difokuskan ke “penyelesaian masalah publik” dan meliputi “leadership on-the-ground”.
            Literatur leadership sektor publik difokuskan ke leader politik, dan tidak heran, fokusnya mengabaikan perbedaan (kritis dalam sektor publik) antara leader sebagai individu dan leadership sebagai proses. Lawler (2008) menyimpulkan bahwa “fokus dari literatur leadership mengindivindukan leadership, tepatnya, melihat leadership sebagai individu yang mempengaruhi individu/kelompok lain. Leader dianggap sebagai visioner, heroik, transformasional, transaksional, karismatik, inspirasional, fleksibel, sensitif, inovatif, tapi tema yang sering dijaga adalah bahwa leadership adalah individualis”. Van Wart dan Dicke berisi beberapa karakteristik leadership yang terangkum dalam Skill, yaitu skill teknis, komunikasi, sosial pengaruh dan negosiasi, analitik, dan pembelajaran kontinyu; Sifat dan Gaya, yang bisa “manajer transaksional berorientasi-tugas” versus leader transformasional yang merubah sistem teknis secara radikal” dan entrepreneurial”, dan teknik fungsional dari leader.  
            Di tahun 2008, Morse dan Buss menerbitkan buku yang berjudul Innovation in Public Leadership Development, yang menyatakan hanya ada sedikit karya tentang level manajemen sektor publik dibanding leadership sektor politik dan militer. Mereka mengatakan bahwa masa ini adalah masa kritis bagi pengembangan leadership. Hancurnya dikotomi kebijakan/administrasi, yang berarti bahwa “principal politik memimpin dan agen administratif mengurus”, menghasilkan rekognisi bahwa leadership juga menjadi tanggung jawab manajer publik. Mereka mendeskripsikan “krisis diam” dalam pemerintah, termasuk kurangnya persiapan leader, kurangnya konfidensi publik ke pemerintah, “age bubble”, dan meningkatnya leadership politics diatas civil service. Terakhir leadership publik dirubah dari konsepsi command-and-control menuju partnership dan network.
            Secara praktis, Gubernur, Bupati/Walikota terpilih dalam sebuah proses politik yang kita sebut dengan Pemilu Kada. Dan secara praktis kita bisa menyebut mereka sebagai pemimpin politik, karena mereka telah memenangkan proses politik dengan mendapat dukungan politik dari konstituennya. Dan begitulah konstitusi kita menghendakinya. Namun setelah terpilih dan terlantik label yang disematkan tentu tidak hanya sebagai pemimpin politik tapi lebih kepada pemimpin publik. Mengapa? Karena yang harus dilayani tidak hanya pendukungnya saja atau yang memilihnya saja, tetapi semua pihak tanpa terkecuali.  Disinilah dipertaruhkan, diuji, dan dibuktikan kemampuan seorang pemimpin dalam menjaga integritas, kepentingan politik pendukung, dan kepentingan publik.
            Seorang Gubernur, Bupati/Walikota terpilih harus mampu merangkul semua pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Harus mampu menjaga tegaknya konstitusi demi berjalannya kepentingan publik, bukan hanya kepentingan politik semata. Dan seharusnya kepala daerah sekarang mampu merubah kepemimpinan publik dari konsep command-and-control menuju partnership dan network. Sehingga keterlibatan dan partisipasi publik menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Satu kajian teoritis yang disebut dengan Collaborative Governance, yang menarik kita bahas pada artikel berikutnya.
            Bicara soal fanatisme dalam Pemilu Kada biasanya tercermin dalam Politik Dinasti. Adakah hal yang aneh? Adakah hal yang salah? Seringkali pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul ketika rezim yang berkuasa sedang dirundung masalah, biasanya adalah kasus korupsi (penyalahgunaan anggaran atau penyuapan). Akhir-akhir ini kita sering melihat dan mendengar kasus-kasus tersebut. Secara etika dan psikologi sosial, Politik Dinasti tentu tidak tepat terjadi dalam negara demokrasi. Politik Dinasti menganggap seolah-olah tidak ada yang lebih baik selain garis keturunan rezim yang pernah berkuasa. Namun inilah faktanya, di beberapa daerah baik di Jawa maupun di luar jawa hal tersebut tersebut berlangsung. Pergantian pemerintahan dari Suami ke Istri, dari Ayah ke Anak, dari Paman ke Keponakan dan seterusnya. Secara konstitusi hal ini tidak dapat disalahkan karena hak politik setiap orang dan sebagian masyarakat pun tidak mempermasalahkan. Terbukti dinasti mereka tetap terpilih dalam Pemilu Kada.
            Namun terbersit pemikiran jernih dari penulis dalam melihat dinamika politik Pemilu Kada serentak 2017 adalah kelayakan Program Kerja masing-masing pasangan calon. Sekali lagi kelayakan Program Kerja masing-masing pasangan calon. Inilah yang seharusnya menjadi bahan penilaian objektif bagi para calon pemilih dalam menentukan calon pemimpin berikutnya. Pemilih seharusnya lebih bergelut dengan pemikiran, ide, gagasan, terhadap program kerja para pasangan calon dan bukan hanya mengikuti arus politik saja (pilihan parpol dan ormas) atau bahkan hanya mengikuti fanatisme politik saja (ikatan kekerabatan). Meski diakui di beberapa daerah cukup sulit menghadirkan pasangan calon yang benar-benar baru dengan program kerja yang layak. Sehingga tidak jarang mereka selalu kalah dengan petahana atau Dinasti Politik.
            Penulis menggunakan istilah “Kelayakan” Program Pasangan Calon dengan mempertimbangkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan itu harus memperhatikan kondisi eksisting yang sedang terjadi di suatu daerah. Fakta dan peristiwa yang terjadi di suatu daerah menjadi dasar dalam menyusun program kerja. Tentu dengan tetap menjaga keberlanjutan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah.  
            Untuk itu penting bagi setiap kita warga masyarakat semakin kaya pemahaman politik dalam rangka menakar dan menimbang “Kelayakan” Program Kerja para pasangan calon yang sedang berkompetisi dalam Pemilu Kada. Yang kita butuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah pasangan calon yang mampu menjadi Pemimpin Publik bukan pemimpin yang lain. Tidak hanya mampu dalam hal command-and-control tapi juga harus mampu dalam hal partnership dan network.    
            








0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda