MEMILIH PEMIMPIN PUBLIK BUKAN HANYA PERSOALAN POLITIK DAN FANATIK
MEMILIH
PEMIMPIN PUBLIK BUKAN HANYA PERSOALAN
POLITIK
DAN FANATIK
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE., M.Si
Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Administrasi FIA UB 2016
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP
Universitas Palangka Raya
e-mail: doddyfisip@gmail.com
|
Pada
saat penulis menyusun artikel ini, penulis sedang tersadar tentang fenomena
“krisis diam” (silent crisis) dalam
kepemimpinan publik. Dalam perkembangan kehidupan demokrasi yang semakin
dinamis di masyarakat persoalan kepemimpinan seringkali mengalami kemajuan dan
kemunduran. Hal tersebut dapat dilihat dari isue-isue yang muncul ke permukaan
pada saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada). Seperti isue suku,
agama, ras, golongan, rezim politik (dinasti), dan lain sebagainya. Penulis
dapat merasakan atmosfer yang berbeda dalam pada masa Pemilu Kada, ketika
penulis berdomisili di Palangka Raya Kalimantan Tengah dan di Batu Jawa Timur.
Atmosfer ini diperkaya dengan situasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta yang menyita perhatian, emosi, empati banyak pihak, tidak hanya para
pendukung/tim sukses, tapi juga masyarakat diluar pendukung. Bahkan banyak
teman dan kerabat penulis yang sebenarnya jauh dari kehidupan politik atau
pemerhati politik, tapi tiba-tiba menjadi sangat tertarik dengan perkembangan
Pemilu Kada di DKI Jakarta. Ketertarikan dan perhatian itu biasanya dituangkan
dalam media sosial seperti: facebook
dan tweeter. Dinamika politik yang
terjadi di DKI Jakarta sebenarnya bukan hal yang spesial, karena bisa jadi hal
tersebut juga terjadi di provinsi, kabupaten/kota yang lain yang mungkin tidak
terekspos oleh media. Menjadi sangat menarik dan fenomenal karena memang Pemilu
Kada Gubernur dan Wakil Gubernur menampilkan sosok/profil/figur yang sangat
dikenal oleh publik secara nasional. Sosok yang kontroversial dari salah satu
calon menjadi perhatian yang sangat menarik bagi masyarakat tidak hanya di
Jakarta tapi juga secara nasional.
Pada
kesempatan ini penulis tidak hanya ingin membahas Pemilu Kada di DKI Jakarta
saja, akan tetapi ingin mengajak pembaca untuk memahami lebih mendalam tentang Kepemimpinan Publik. Meski tidak dapat
dipungkiri bahwa Pemilu Kada DKI Jakarta sangat menarik untuk dikaji secara
akademis. Kepemimpinan Publik berbeda
dengan Kepemimpinan Militer, Kepemimpinan Sipil, dan Kepemimpinan Privat.
Secara mendasar sebagian besar dari kita hanya memahami tipe/jenis/gaya
kepemimpinan pada umumnya seperti: Kepemimpinan Demokratis, Kepemimpinan
Otokratis, dan Kepemimpinan Situasional. Meski diakui beberapa sumber/ahli
membedakan antara tipe kepemimpinan, jenis kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan
secara definisi maupun kategori.
Leadership
sektor publik jauh lebih spesifik dibanding leadership
general dan bahkan lebih ekspansif dibanding leadership politics, seperti yang ditunjukkan beberapa publikasi
terbaru, Van Wart dan Dicke (2007) mengemukakan beberapa tipe leadership sektor
publik, yaitu organisasi (yang telah diabaikan dan dijadikan fokus), politik,
dan gerakan (peran Martin Luthter King dalam gerakan sipil). Kategorisasi Morse
dkk (2007) berisi leadership politik (terpilih atau angkatan tinggi, leader top government), leadership
organisasi (leadership formal di
dalam organisasi publik, dari “supervisor lini sampai ke atas”); dan leadership
nilai publik – keluar dari pemerintah dan masuk ke governance, yang difokuskan ke “penyelesaian masalah publik” dan
meliputi “leadership on-the-ground”.
Literatur
leadership sektor publik difokuskan
ke leader politik, dan tidak heran,
fokusnya mengabaikan perbedaan (kritis dalam sektor publik) antara leader
sebagai individu dan leadership sebagai proses. Lawler (2008) menyimpulkan
bahwa “fokus dari literatur leadership mengindivindukan leadership, tepatnya, melihat leadership sebagai individu yang
mempengaruhi individu/kelompok lain. Leader
dianggap sebagai visioner, heroik, transformasional, transaksional, karismatik,
inspirasional, fleksibel, sensitif, inovatif, tapi tema yang sering dijaga
adalah bahwa leadership adalah
individualis”. Van Wart dan Dicke berisi beberapa karakteristik leadership yang terangkum dalam Skill, yaitu skill teknis, komunikasi, sosial pengaruh dan negosiasi, analitik,
dan pembelajaran kontinyu; Sifat dan Gaya, yang bisa “manajer transaksional berorientasi-tugas” versus leader transformasional yang merubah sistem
teknis secara radikal” dan entrepreneurial”,
dan teknik fungsional dari leader.
Di
tahun 2008, Morse dan Buss menerbitkan buku yang berjudul Innovation in Public Leadership Development, yang menyatakan hanya ada
sedikit karya tentang level manajemen sektor publik dibanding leadership sektor
politik dan militer. Mereka mengatakan bahwa masa ini adalah masa kritis bagi
pengembangan leadership. Hancurnya dikotomi kebijakan/administrasi, yang
berarti bahwa “principal politik memimpin dan agen administratif mengurus”,
menghasilkan rekognisi bahwa leadership juga menjadi tanggung jawab manajer
publik. Mereka mendeskripsikan “krisis diam” dalam pemerintah, termasuk
kurangnya persiapan leader, kurangnya konfidensi publik ke pemerintah, “age bubble”,
dan meningkatnya leadership politics
diatas civil service. Terakhir leadership publik dirubah dari konsepsi command-and-control menuju partnership dan
network.
Secara
praktis, Gubernur, Bupati/Walikota terpilih dalam sebuah proses politik yang
kita sebut dengan Pemilu Kada. Dan secara praktis kita bisa menyebut mereka
sebagai pemimpin politik, karena mereka telah memenangkan proses politik dengan
mendapat dukungan politik dari konstituennya. Dan begitulah konstitusi kita
menghendakinya. Namun setelah terpilih dan terlantik label yang disematkan
tentu tidak hanya sebagai pemimpin politik tapi lebih kepada pemimpin publik.
Mengapa? Karena yang harus dilayani tidak hanya pendukungnya saja atau yang
memilihnya saja, tetapi semua pihak tanpa terkecuali. Disinilah dipertaruhkan, diuji, dan dibuktikan
kemampuan seorang pemimpin dalam menjaga integritas, kepentingan politik
pendukung, dan kepentingan publik.
Seorang
Gubernur, Bupati/Walikota terpilih harus mampu merangkul semua pihak yang
berkepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Harus
mampu menjaga tegaknya konstitusi demi berjalannya kepentingan publik, bukan
hanya kepentingan politik semata. Dan seharusnya kepala daerah sekarang mampu
merubah kepemimpinan publik dari konsep command-and-control
menuju partnership dan network. Sehingga keterlibatan dan partisipasi
publik menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Satu kajian
teoritis yang disebut dengan Collaborative
Governance, yang menarik kita bahas pada artikel berikutnya.
Bicara
soal fanatisme dalam Pemilu Kada biasanya tercermin dalam Politik Dinasti.
Adakah hal yang aneh? Adakah hal yang salah? Seringkali pertanyaan-pertanyaan
tersebut muncul ketika rezim yang berkuasa sedang dirundung masalah, biasanya
adalah kasus korupsi (penyalahgunaan anggaran atau penyuapan). Akhir-akhir ini kita
sering melihat dan mendengar kasus-kasus tersebut. Secara etika dan psikologi
sosial, Politik Dinasti tentu tidak tepat terjadi dalam negara demokrasi.
Politik Dinasti menganggap seolah-olah tidak ada yang lebih baik selain garis
keturunan rezim yang pernah berkuasa. Namun inilah faktanya, di beberapa daerah
baik di Jawa maupun di luar jawa hal tersebut tersebut berlangsung. Pergantian
pemerintahan dari Suami ke Istri, dari Ayah ke Anak, dari Paman ke Keponakan
dan seterusnya. Secara konstitusi hal ini tidak dapat disalahkan karena hak
politik setiap orang dan sebagian masyarakat pun tidak mempermasalahkan.
Terbukti dinasti mereka tetap terpilih dalam Pemilu Kada.
Namun
terbersit pemikiran jernih dari penulis dalam melihat dinamika politik Pemilu
Kada serentak 2017 adalah kelayakan Program Kerja masing-masing pasangan calon.
Sekali lagi kelayakan Program Kerja masing-masing pasangan calon. Inilah yang
seharusnya menjadi bahan penilaian objektif bagi para calon pemilih dalam
menentukan calon pemimpin berikutnya. Pemilih seharusnya lebih bergelut dengan
pemikiran, ide, gagasan, terhadap program kerja para pasangan calon dan bukan
hanya mengikuti arus politik saja (pilihan parpol dan ormas) atau bahkan hanya
mengikuti fanatisme politik saja (ikatan kekerabatan). Meski diakui di beberapa
daerah cukup sulit menghadirkan pasangan calon yang benar-benar baru dengan
program kerja yang layak. Sehingga tidak jarang mereka selalu kalah dengan
petahana atau Dinasti Politik.
Penulis
menggunakan istilah “Kelayakan” Program Pasangan Calon dengan mempertimbangkan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan itu harus memperhatikan
kondisi eksisting yang sedang terjadi di suatu daerah. Fakta dan peristiwa yang
terjadi di suatu daerah menjadi dasar dalam menyusun program kerja. Tentu
dengan tetap menjaga keberlanjutan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah.
Untuk
itu penting bagi setiap kita warga masyarakat semakin kaya pemahaman politik
dalam rangka menakar dan menimbang “Kelayakan” Program Kerja para pasangan
calon yang sedang berkompetisi dalam Pemilu Kada. Yang kita butuhkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan adalah pasangan calon yang mampu menjadi Pemimpin
Publik bukan pemimpin yang lain. Tidak hanya mampu dalam hal command-and-control tapi juga harus
mampu dalam hal partnership dan network.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda