Rabu, 08 Juli 2020

PENGELOLAAN PTS DENGAN SEGALA HIRUK PIKUK DIDALAMNYA

    
            Enam bulan sudah saya mendampingi istri bertugas di sebuah kota kecil tempat masa kecil saya tumbuh dan berkembang. Kali ini istri saya mendapatkan amanah untuk sebuah posisi yang cukup strategis yang mengharuskan dia mampu lebih mengeksplor kemampuannya dalam bidang manajemen keuangan. Selama enam bulan itu pula pasang surut mood dan spirit istri saya mengalami pendewasaan. Awalnya dia selalu merasakan kondisi yang aneh dengan membandingkan institusi tempat saya bernaung. Kok begini ya disini? Lha kok bisa begitu ya? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali muncul dalam diskusi kami jelang tidur malam.

            Benar kata orang bahwa “lain ladang lain belalang”. Setiap organisasi, lembaga, atau institusi memiliki karakter yang berbeda-beda. Mungkin kita dulu sering menemuinya dengan istilah “budaya organisasi”. Kami semakin bisa mendapatkan perbedaan secara nyata antara pengelolaan PTN dan pengelolaan PTS. Meski saya masih memegang prinsip bahwa PTN ataupun PTS itu sangat tergantung bagaimana cara memanagenya agar bisa maju dan berkembang. Saya pun juga mendapatkan sebuah pemikiran boleh disebut sebagai  proposisi bahwa “Keharmonisan hubungan Ketua Yayasan dan Rektor berdampak terhadap maju-mundurnya kampus“. Proposisi ini saya anggap sebagai proposisi mayor.

            Hubungan Ketua Yayasan dan Rektor itu sangat mempengaruhi terhadap keselarasan dan dinamika kerja di level manapun, baik di rektorat, fakultas, maupun prodi. Beda halnya dengan  PTN, Rektor memegang kendali penuh atas pengelolaan universitas. Meskipun secara normatif masih ada senat universitas yang memiliki hak untuk mengawasi kinerja Rektor PTN. 

            Diawal tulisan saya ini yang mengulas tentang pengelolaan PTS saya lebih menyoroti tentang tarik menarik kepentingan yang selalu mendominasi terhadap pengelolaan PTS. Kepentingan Ketua Yayasan dan kepentingan Rektor. Dalam buku manajemen yang kita semua pernah pelajari atau secara lebih spesifik dalam manajemen pendidikan tinggi,  yang namanya Ketua Yayasan itu ibarat “Komisaris Utama” sebuah perusahaan. Sedangkan Rektor itu ibarat “Direktur Utama” sebuah perusahaan. Nah, apa yang terjadi ketika seorang Komisaris Utama itu berlaku seperti Direktur Utama? Apakah ada yang  tumpang tindih? Apakah ada disharmonis? Ataukah sebaliknya organisasi itu tetap berjalan tapi seperti kapal yang memiliki dua nahkoda dan tidak memiliki koordinat yang tetap untuk dituju sebagai tempat berlabuh?

            Menjadi sebuah tantangan bagi saya untuk terus mengabadikan dan mendokumentasikan terhadap dinamika pengelolaan PTS tempat istri saya bernaung. Dan harapannya kedepan saya mendapatkan pembelajaran yang cukup tentang bagaimana mengelola sebuah PTS atau bahkan PTN. Untuk itu kedepan akan coba saya jawab pertanyaan-pertanyaan besar diatas dalam sebuah tulisan yang mungkin akan menginspirasi dan harapannya mendapatkan feedback dari para pemerhati/pelaku pendidikan tinggi. Tentunya perspektif yang saya jadikan pijakan adalah “public administration”.