PENGELOLAAN PTS DENGAN SEGALA HIRUK PIKUK DIDALAMNYA
Enam
bulan sudah saya mendampingi istri bertugas di sebuah kota kecil tempat masa
kecil saya tumbuh dan berkembang. Kali ini istri saya mendapatkan amanah untuk
sebuah posisi yang cukup strategis yang mengharuskan dia mampu lebih
mengeksplor kemampuannya dalam bidang manajemen keuangan. Selama enam bulan itu
pula pasang surut mood dan spirit istri saya mengalami pendewasaan.
Awalnya dia selalu merasakan kondisi yang aneh dengan membandingkan institusi
tempat saya bernaung. Kok begini ya disini? Lha kok bisa begitu ya? Pertanyaan-pertanyaan
ini seringkali muncul dalam diskusi kami jelang tidur malam.
Benar
kata orang bahwa “lain ladang lain belalang”. Setiap organisasi, lembaga, atau
institusi memiliki karakter yang berbeda-beda. Mungkin kita dulu sering
menemuinya dengan istilah “budaya organisasi”. Kami semakin bisa mendapatkan
perbedaan secara nyata antara pengelolaan PTN dan pengelolaan PTS. Meski saya
masih memegang prinsip bahwa PTN ataupun PTS itu sangat tergantung bagaimana
cara memanagenya agar bisa maju dan berkembang. Saya pun juga mendapatkan
sebuah pemikiran boleh disebut sebagai proposisi bahwa “Keharmonisan hubungan Ketua Yayasan dan Rektor berdampak terhadap maju-mundurnya
kampus“. Proposisi ini saya anggap sebagai proposisi mayor.
Hubungan
Ketua Yayasan dan Rektor itu sangat mempengaruhi terhadap keselarasan dan
dinamika kerja di level manapun, baik di rektorat, fakultas, maupun prodi. Beda
halnya dengan PTN, Rektor memegang
kendali penuh atas pengelolaan universitas. Meskipun secara normatif masih ada
senat universitas yang memiliki hak untuk mengawasi kinerja Rektor PTN.
Diawal
tulisan saya ini yang mengulas tentang pengelolaan PTS saya lebih menyoroti
tentang tarik menarik kepentingan yang selalu mendominasi terhadap pengelolaan
PTS. Kepentingan Ketua Yayasan dan kepentingan Rektor. Dalam buku manajemen
yang kita semua pernah pelajari atau secara lebih spesifik dalam manajemen
pendidikan tinggi, yang namanya Ketua
Yayasan itu ibarat “Komisaris Utama” sebuah perusahaan. Sedangkan Rektor itu
ibarat “Direktur Utama” sebuah perusahaan. Nah, apa yang terjadi ketika seorang
Komisaris Utama itu berlaku seperti Direktur Utama? Apakah ada yang tumpang tindih? Apakah ada disharmonis? Ataukah
sebaliknya organisasi itu tetap berjalan tapi seperti kapal yang memiliki dua
nahkoda dan tidak memiliki koordinat yang tetap untuk dituju sebagai tempat
berlabuh?
Menjadi
sebuah tantangan bagi saya untuk terus mengabadikan dan mendokumentasikan
terhadap dinamika pengelolaan PTS tempat istri saya bernaung. Dan harapannya
kedepan saya mendapatkan pembelajaran yang cukup tentang bagaimana mengelola
sebuah PTS atau bahkan PTN. Untuk itu kedepan akan coba saya jawab pertanyaan-pertanyaan
besar diatas dalam sebuah tulisan yang mungkin akan menginspirasi dan
harapannya mendapatkan feedback dari para pemerhati/pelaku pendidikan tinggi.
Tentunya perspektif yang saya jadikan pijakan adalah “public administration”.