TANTANGAN KEBIJAKAN KAMPUS MERDEKA BELAJAR PADA PERGURUAN TINGGI DI KALIMANTAN TENGAH
Beberapa
waktu yang lalu tepatnya Jumat, 24 Januari 2020 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan telah meluncurkan 4 Kebijakan Kampus Merdeka yang meliputi; 1). Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi, 2). Hak
belajar 3 semester di luar program studi, 3). Pembukaan program studi baru , 4)
Kemudahan menjadi PTN-BH. Bagi saya yang masih menyandang status mahasiswa, kebijakan
ini sungguh luar biasa. Bahkan mungkin kebijakan ini sangatlah imajinatif dan
revolusioner. Kenapa saya bilang imajinatif? Karena saya yakin sebelumnya tidak
ada yang berani mewacanakan atau bahkan menjadi bahan diskursus dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita. Sebagai contoh soal akreditasi
atau reakreditasi yang mana aturan ini rasanya mustahil dibuat sebagai
kesukarelaan program studi untuk mengajukan akreditasi atau reakreditasi.
Selama ini akreditasi atau reakreditasi menjadi beban yang cukup berat bagi
pengelola program studi dalam rangka menjaga reputasinya. Tapi kebijakan ini seakan
menjadikan akreditasi atau reakreditasi oleh BAN-PT bukanlah satu-satunya
indikator kualitas pendidikan program studi. Bahkan pengajuannya pun sesuai
kebutuhan program studi, tidak dipaksakan oleh kementerian. Contoh berikutnya
mengenai Hak belajar 3 semester diluar kampus. Kebijakan ini sebenarnya telah
dilaksanakan oleh beberapa program studi dengan program dengan KKN/Magang/PKL. Cuman
yang menjadi agak ekstrim adalah waktunya yang biasanya hanya dilaksanakan
paling lama 3 bulan dan setara dengan 4 sks, ini akan dilakukan selama 3
semester dan setara dengan 40 sks. Terkecuali untuk program studi ilmu kesehatan.
Ini yang saya maksud dengan kebijakan yang revolusioner, karena pastinya
kedepan pengelola program studi akan sibuk untuk melakukan persiapan dengan merevisi
kurikulum, menyusun format magang, melakukan kerjasama dengan berbagai pihak
swasta maupun pemerintah sebagai tempat tujuan magang. Bisa jadi pengelola program
studi akan sangat disibukkan oleh kebijakan baru ini. Meski terbersit dalam
pikiran saya bahwa kerepotan itu akan muncul didepan saja pada tahap persiapan
menyiapkan semua platform untuk mendukung kebijakan kampus merdeka belajar. Saya
juga menyimpan keyakinan dan optimisme bahwa ini adalah upaya kita untuk lebih
mendekatkan perguruan tinggi pada pasar dunia kerja riel yang mewujudkan link and match antara perguruan tinggi
dengan pasar dunia kerja. Nah, bagaimana dengan perguruan tinggi di Kalimantan
Tengah apakah sudah siap untuk menindaklanjuti kebijakan ini?. Tentu jawabannya
tidak hanya sekedar “siap” tapi mesti diikuti dengan ide-ide cemerlang yang
mampu merealisasikan kebijakan ini.
Perubahan
Mindset
Sudah
saatnya untuk merubah mindset dimana selalu berdebat perihal linieritas
disiplin ilmu. Suka atau tidak suka kita mesti terbuka bahwa perkembangan ilmu
saat ini begitu pesat. Problematika kehidupan kita semakin kompleks, baik bidang
sosial maupun eksakta. Tidak satupun pekerjaan atau profesi itu hanya cukup
dilatarbelakangi oleh satu bidang ilmu saja. Bolehlah satu bidang ilmu menjadi
satu landasan utama, tapi perlu juga didukung oleh bidang-bidang ilmu lain agar
seseorang itu memiliki profesionalisme yang tangguh. Sehingga pendekatan
multidisiplin inilah yang menjadi modal kita untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia di Kalimantan Tengah.
Kolaborasi
Antar Perguruan Tinggi
Kebijakan
ini tidak akan mampu dieksekusi oleh satu pihak saja, yang dibutuhkan adalah
kolaborasi dari multistakeholder. Perguruan tinggi, pemerintah daerah, swasta,
NGO, komunitas, dan masyarakat. Sehingga semua elemen mesti membuka ruang untuk
dijadikan sebagai sarana pembelajaran pendidikan tinggi. Kolaborasi antar
perguruan tinggi di Kalimantan Tengah yang dilakukan melalui kerjasama antar
program studi saya pikir bisa menjadi titik tolak kebijakan ini. Bagaimana caranya
agar mahasiswa dapat bertukar tempat belajar yang diminati dalam rangka
melengkapi kompetensinya di bidang studinya. Gagasan ini meski mulai dipikirkan
dan disusun teknis pembelajarannya. Meski itu tidak mudah karena harus
menyesuaikan kurikulum dan panduan akademik masing perguruan tinggi dan program
studi.
Perbanyak
MOU
Hal
tercepat dalam rangka menyambut kebijakan ini adalah melakukan banyak
kesepakatan kerjasama (MOU) dengan berbagai pihak khususnya dengan para
stakeholder yang potensial sebagai user lulusan perguruan tinggi agar mewadahi
dan memfasilitasi kegiatan KKN/Magang/PKL. MOU dengan dunia usaha seperti: perusahan
perkebunan sawit, perusahan jasa konstruksi, perbankan, BUMN, BUMD dan lain
sebagainya. Dan juga kerjasama dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di
Kalimantan Tengah serta beberapa NGO bereputasi di Kalimantan Tengah. Tidak
menutup kemungkinan kerjasama itu juga bisa dilakukan dengan pemerintah pusat
seperti kementerian dan perusahaan nasional sehingga KKN/Magang/PKL tidak hanya
dilakukan di wilayah Kalimantan Tengah saja, bisa juga dilakukan di provinsi
lain dan bahkan diluar negeri.
Jangan
Menunggu, Perubahan Itu Nyata Adanya
Perlu
adanya policy brief untuk mendorong
dan memperkuat kebijakan ini agar segera terlaksana. Secara regulasi Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan terkait juga mesti disiapkan agar para
pelaksana di tingkat perguruan tinggi memiliki landasan yang kuat dalam
melaksanakan kebijakan tersebut. Jangan sampai kebijakan ini hanya sebatas good will, tapi tidak diikuti oleh political will yang kuat. Yang muncul
nanti hanya sekedar angan-angan belaka. Kebijakan yang imajinatif dan revolusioner
ini meski dikawal oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena setiap
perguruan tinggi memiliki karakateristik dan keterbatasannya masing-masing
dalam menyesuaikan perubahan kebijakan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda