Jumat, 22 September 2017

“KRISIS DIAM” DALAM BIROKRASI PEMDA

“KRISIS DIAM” DALAM BIROKRASI PEMDA
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE., M.Si
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administras FIA UB 2016
E-mail: doddyfisip@gmail.com
            Kalteng Pos (kalteng.prokal.co), Jumat, 24 Februari 2017 memberitakan bahwa Rapat Evaluasi Perda yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kota Palangka Raya terpaksa ditunda, disebabkan hanya dihadiri satu orang Kepala Dinas (Satpol-PP). Sedangkan lainnya tidak datang tanpa penjelasan. Muncul pertanyaan, sejauhmana keseriusan Pemerintah Kota Palangka Raya untuk mengevaluasi tujuh Perda yang dianggap tidak efektif dalam implementasinya?
            Tujuh Perda tersebut meliputi Perda No. 12 Tahun 2011 tentang Izin Usaha Burung Walet, Perda No. 18 Tahun 2013 tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan , Perda No. 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Perda No. 23 Tahun 2014 tentang Retribusi Izin Tempat Minuman Beralkohol, Perda No. 23 Tahun 2014 tentang RPJMD Kota Tahun 2014-2018, Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahan .Terhadap Masyarakat dan Pemerintah, serta Perda tentang Perusahaan Daerah Air Minum.
            Beta Syailendra (Ketua Baperperda DPRD Kota Palangka Raya) mengatakan bahwa substansi dari masing-masing Perda itu sebenarnya sudah bagus, namun implementasinya tidak maksimal, karena ditemukan banyak masalah. Seperti tidak adanya Peraturan Walikota (Perwali) sebagai aturan pelaksananya. Prasarana dan sarana yang tidak mendukung. Minimnya partisipasi masyarakat dalam mematuhi Perda yang telah ditetapkan.
              Sebagai seorang akademisi (Pemerhati Kebijakan Publik) dan bagian dari masyarakat Kota Palangka Raya tentu merasa prihatin mendengar berita ini. Sepengetahuan saya untuk membuat sebuah Peraturan Daerah itu biayanya sangat mahal dan memerlukan waktu yang panjang sebelum ditetapkan dan diundangkan. Proses penyusunan naskah akademis yang begitu panjang dan komprehensif dari berbagai aspek (yuridis, politis, sosiologis, ekologis, dan historis) wajib menjadi bahan kajian dalam membentuk sebuah Perda. Bahkan tidak jarang harus dilakukan studi banding ke daerah lain yang sudah sukses dalam mengimplementasikan sebuah Perda. Namun sangat disayangkan jika kerja keras dan biaya yang tidak sedikit tersebut harus mentah atau mental pada tahap implementasi disebabkan karena sesuatu hal yang belum jelas,  karena memang belum dievaluasi, maka tentu ini adalah bentuk “pemborosan” terhadap “uang rakyat”. Perda dibentuk dan ditetapkan dengan bersumber dari APBD yang sebagian sumber pendapatannya didapatkan dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Yang artinya “Uang Rakyat-lah” yang digunakan untuk membentuk sebuah Perda. Yang pernah saya dengar untuk membentuk sebuah Perda yang memenuhi syarat dan ketentuan peraturan perundangan membutuhkan tidak kurang dari setengah milyar rupiah. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat melihat kondisi seperti ini? Jawabnya: Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat, karena Pemerintah Kota Palangka Raya sebagai implementor utama dalam setiap implementasi Perda, ini adalah domain Pemko. Sehingga mereka harus bersedia untuk duduk bersama DPRD Kota Palangka Raya sebagai wakil dari rakyat Kota Palangka Raya guna mengevaluasi setiap Perda yang dianggap tidak efektif. Pemerintah Kota Palangka Raya harus lebih terbuka dan sportif dalam menyampaikan berbagai kekurangan dan kendala baik dari sisi aturan pelaksana maupun dukungan prasarana dan sarana.  
            Kondisi seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Pemerintah Kota Palangka Raya, di berbagai daerah lain pun juga sama. Perhatian dan kepedulian dalam mengevaluasi setiap kebijakan publik sangat minim adanya. Entah apa yang menjadi penyebabnya? Apakah takut disalahkan atau “dikambing-hitamkan” ataukah karena memang tidak mengetahui secara persis persoalan-persoalan teknis operasional di lapangan yang menyebabkan Perda tersebut tidak efektif.
            Saya menduga saat ini sedang terjadi “Krisis Diam” dalam birokrasi Pemerintah Daerah. Baik kabupaten/kota maupun provinsi. Istilah “Krisis Diam” dimunculkan oleh Goldsmith dan Eggers (2004) seperti yang dikutip dalam Morse dan Buss (2008). Ini adalah persoalan kritis dalam pengembangan kepemimpinan birokrasi Pemerintah Daerah. Morse and Buss menekankan bahwa dikotomi kebijakan tidak boleh menghalangi proses administrasi yang berjalan. Pemimpin publik wajib bertanggungjawab pada setiap proses administrasi publik. Karena pada hakekatnya “pemimpin publik” adalah “manajer publik”. Dalam hal ini setiap Kepala Dinas (SKPD) adalah “pemimpin publik” sekaligus “manajer publik”. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa Kepala Dinas (SKPD) terkait tidak mengetahui persoalan-persoalan fungsional baik internal maupun eksternal instansi yang dia pimpin berkaitan dengan implementasi Perda tersebut.
            “Krisis Diam” ini bukan persoalan mudah untuk diatasi. Meski kita dapat dengan mudah menunjuk bahwa hal ini adalah tanggungjawab Kepala Daerah (Walikota/Bupati). Kepala Daerah-lah yang harus bertanggungjawab untuk memberikan contoh sikap terbuka dan sportif dalam mengevaluasi atas implementasi Perda yang tidak efektif. Walikota/Bupati harus mampu mendorong setiap Kepala Dinas (SKPD) untuk mampu mengidentifikasi dan mencari solusi atas kendala implementasi sebuah Perda. Sehingga Walikota/Bupati harus merubah pola kepemimpinan publik dari command-and-control menuju partnership dan network. Pemerintah Daerah harus lebih membuka ruang bagi partisipasi masyarakat baik secara pasif maupun aktif dalam mengkritisi setiap kinerja sebuah kebijakan publik (Perda).
            Dengan demikian konsep yang dijalankan tidak cukup hanya Good Governance yang seolah-olah mengartikan bahwa Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten/Provinsi) adalah seorang yang selalu jujur/tidak korupsi, ramah, dan melayani, tetapi dituntut lebih dari itu. Pemerintah Daerah harus lebih terbuka dan akuntabel dalam level yang lebih tinggi  lagi. Atau diistilahkan dengan “Open Government”. Begitu juga masyarakat harus lebih kritis dan proaktif dalam menyampaikan kritik dan solusi atas kegagalan implementasi sebuah Perda. Sebenarnya saya tidak heran mengetahui kondisi ini karena berdasarkan fakta di lapangan yang saya peroleh dari hasil penelitian mahasiswa, sebagian besar informasi valid dan komprehensif didapatkan dari level Kabid (Kepala Bidang) kebawah (sampai staf pelaksana). Sedangkan informasi dari Kepala Dinas cenderung tidak menyentuh persoalan substansi implementasi sebuah kebijakan publik. Kepala Dinas hanya mengetahui persoalan-persoalan normatif saja seperti latarbelakang regulasi implementasi kebijakan publik (Perda). Ini adalah bagian dari “Krisis Diam” dalam Birokrasi Pemerintah Daerah.
            Nah sekarang, apa yang terjadi jika para Kepala Dinas yang diundang dalam Rapat Evaluasi Perda di DPRD Kota Palangka Raya akhirnya tidak pernah datang. Apakah akan terjadi gempa bumi? Jawabnya: “tentu tidak”. Apakah ini kemudian “dibiarkan” atau “didiamkan”? Jawabnya: Bisa “Ya” bisa juga “Tidak”. Jika “Ya” maka memang betul-betul terjadi “Krisis Diam” dalam birokrasi Pemda.            

















0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda