“KRISIS DIAM” DALAM BIROKRASI PEMDA
“KRISIS DIAM” DALAM BIROKRASI PEMDA
Oleh:
M. Doddy Syahirul Alam, SE., M.Si
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP
UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Administras FIA UB 2016
E-mail: doddyfisip@gmail.com
Kalteng
Pos (kalteng.prokal.co), Jumat, 24 Februari 2017 memberitakan bahwa Rapat
Evaluasi Perda yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kota
Palangka Raya terpaksa ditunda, disebabkan hanya dihadiri satu orang Kepala
Dinas (Satpol-PP). Sedangkan lainnya tidak datang tanpa penjelasan. Muncul
pertanyaan, sejauhmana keseriusan Pemerintah Kota Palangka Raya untuk
mengevaluasi tujuh Perda yang dianggap tidak efektif dalam implementasinya?
Tujuh
Perda tersebut meliputi Perda No. 12 Tahun 2011 tentang Izin Usaha Burung Walet, Perda No. 18 Tahun 2013 tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan ,
Perda No. 3 Tahun 2014 tentang Kawasan
Tanpa Rokok, Perda No. 23 Tahun 2014 tentang Retribusi Izin Tempat Minuman Beralkohol, Perda No. 23 Tahun 2014
tentang RPJMD Kota Tahun 2014-2018,
Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahan .Terhadap Masyarakat dan Pemerintah, serta Perda
tentang Perusahaan Daerah Air Minum.
Beta
Syailendra (Ketua Baperperda DPRD Kota Palangka Raya) mengatakan bahwa substansi
dari masing-masing Perda itu sebenarnya sudah bagus, namun implementasinya
tidak maksimal, karena ditemukan banyak masalah. Seperti tidak adanya Peraturan
Walikota (Perwali) sebagai aturan pelaksananya. Prasarana dan sarana yang tidak
mendukung. Minimnya partisipasi masyarakat dalam mematuhi Perda yang telah
ditetapkan.
Sebagai
seorang akademisi (Pemerhati Kebijakan Publik) dan bagian dari masyarakat Kota
Palangka Raya tentu merasa prihatin mendengar berita ini. Sepengetahuan saya
untuk membuat sebuah Peraturan Daerah itu biayanya sangat mahal dan memerlukan
waktu yang panjang sebelum ditetapkan dan diundangkan. Proses penyusunan naskah
akademis yang begitu panjang dan komprehensif dari berbagai aspek (yuridis,
politis, sosiologis, ekologis, dan historis) wajib menjadi bahan kajian dalam
membentuk sebuah Perda. Bahkan tidak jarang harus dilakukan studi banding ke
daerah lain yang sudah sukses dalam mengimplementasikan sebuah Perda. Namun
sangat disayangkan jika kerja keras dan biaya yang tidak sedikit tersebut harus
mentah atau mental pada tahap implementasi disebabkan karena sesuatu hal yang
belum jelas, karena memang belum dievaluasi,
maka tentu ini adalah bentuk “pemborosan” terhadap “uang rakyat”. Perda
dibentuk dan ditetapkan dengan bersumber dari APBD yang sebagian sumber
pendapatannya didapatkan dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Yang artinya
“Uang Rakyat-lah” yang digunakan untuk membentuk sebuah Perda. Yang pernah saya
dengar untuk membentuk sebuah Perda yang memenuhi syarat dan ketentuan
peraturan perundangan membutuhkan tidak kurang dari setengah milyar rupiah. Lantas
apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat melihat kondisi seperti ini? Jawabnya:
Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat, karena Pemerintah Kota
Palangka Raya sebagai implementor utama dalam setiap implementasi Perda, ini
adalah domain Pemko. Sehingga mereka harus bersedia untuk duduk bersama DPRD
Kota Palangka Raya sebagai wakil dari rakyat Kota Palangka Raya guna
mengevaluasi setiap Perda yang dianggap tidak efektif. Pemerintah Kota Palangka
Raya harus lebih terbuka dan sportif dalam menyampaikan berbagai kekurangan dan
kendala baik dari sisi aturan pelaksana maupun dukungan prasarana dan sarana.
Kondisi
seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Pemerintah Kota Palangka Raya, di
berbagai daerah lain pun juga sama. Perhatian dan kepedulian dalam mengevaluasi
setiap kebijakan publik sangat minim adanya. Entah apa yang menjadi
penyebabnya? Apakah takut disalahkan atau “dikambing-hitamkan” ataukah karena
memang tidak mengetahui secara persis persoalan-persoalan teknis operasional di
lapangan yang menyebabkan Perda tersebut tidak efektif.
Saya
menduga saat ini sedang terjadi “Krisis Diam” dalam birokrasi Pemerintah
Daerah. Baik kabupaten/kota maupun provinsi. Istilah “Krisis Diam” dimunculkan
oleh Goldsmith dan Eggers (2004) seperti yang dikutip dalam Morse dan Buss (2008).
Ini adalah persoalan kritis dalam pengembangan kepemimpinan birokrasi
Pemerintah Daerah. Morse and Buss menekankan bahwa dikotomi kebijakan tidak
boleh menghalangi proses administrasi yang berjalan. Pemimpin publik wajib
bertanggungjawab pada setiap proses administrasi publik. Karena pada hakekatnya
“pemimpin publik” adalah “manajer publik”. Dalam hal ini setiap Kepala Dinas
(SKPD) adalah “pemimpin publik” sekaligus “manajer publik”. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa
Kepala Dinas (SKPD) terkait tidak mengetahui persoalan-persoalan fungsional
baik internal maupun eksternal instansi yang dia pimpin berkaitan dengan
implementasi Perda tersebut.
“Krisis
Diam” ini bukan persoalan mudah untuk diatasi. Meski kita dapat dengan mudah
menunjuk bahwa hal ini adalah tanggungjawab Kepala Daerah (Walikota/Bupati). Kepala
Daerah-lah yang harus bertanggungjawab untuk memberikan contoh sikap terbuka
dan sportif dalam mengevaluasi atas implementasi Perda yang tidak efektif. Walikota/Bupati
harus mampu mendorong setiap Kepala Dinas (SKPD) untuk mampu mengidentifikasi
dan mencari solusi atas kendala implementasi sebuah Perda. Sehingga
Walikota/Bupati harus merubah pola kepemimpinan publik dari command-and-control menuju partnership dan network. Pemerintah
Daerah harus lebih membuka ruang bagi partisipasi masyarakat baik secara pasif
maupun aktif dalam mengkritisi setiap kinerja sebuah kebijakan publik (Perda).
Dengan
demikian konsep yang dijalankan tidak cukup hanya Good Governance yang seolah-olah mengartikan bahwa Pemerintah
Daerah (Kota/Kabupaten/Provinsi) adalah seorang yang selalu jujur/tidak
korupsi, ramah, dan melayani, tetapi dituntut lebih dari itu. Pemerintah Daerah
harus lebih terbuka dan akuntabel dalam level yang lebih tinggi lagi. Atau diistilahkan dengan “Open Government”. Begitu juga masyarakat
harus lebih kritis dan proaktif dalam menyampaikan kritik dan solusi atas
kegagalan implementasi sebuah Perda. Sebenarnya saya tidak heran mengetahui
kondisi ini karena berdasarkan fakta di lapangan yang saya peroleh dari hasil
penelitian mahasiswa, sebagian besar informasi valid dan komprehensif
didapatkan dari level Kabid (Kepala Bidang) kebawah (sampai staf pelaksana).
Sedangkan informasi dari Kepala Dinas cenderung tidak menyentuh persoalan
substansi implementasi sebuah kebijakan publik. Kepala Dinas hanya mengetahui
persoalan-persoalan normatif saja seperti latarbelakang regulasi implementasi
kebijakan publik (Perda). Ini adalah bagian dari “Krisis Diam” dalam Birokrasi
Pemerintah Daerah.
Nah
sekarang, apa yang terjadi jika para Kepala Dinas yang diundang dalam Rapat
Evaluasi Perda di DPRD Kota Palangka Raya akhirnya tidak pernah datang. Apakah
akan terjadi gempa bumi? Jawabnya: “tentu tidak”. Apakah ini kemudian
“dibiarkan” atau “didiamkan”? Jawabnya: Bisa “Ya” bisa juga “Tidak”. Jika “Ya” maka
memang betul-betul terjadi “Krisis Diam” dalam birokrasi Pemda.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda