MEMAHAMI KONSEP OPEN GOVERNMENT DI INDONESIA
MEMAHAMI KONSEP OPEN GOVERNMENT DI INDONESIA
Oleh:
M.
Doddy Syahirul Alam, SE, M.Si
Dosen
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa
Program Doktor Ilmu Administras FIA UB 2016
E-mail:
doddyfisip@gmail.com
Istilah
Open Government muncul beberapa kali
pada forum yang sangat monumental yakni Debat Terbuka yang ke-2 dan ke-3 Pemilu
Kada DKI Jakarta. Waktu itu istilah Open
Government beberapa kali disebutkan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3 (Anies
Baswedan-Sandiaga S. Uno). Sebagai seorang akademisi di bidang ilmu
pemerintahan tentu hal ini menggugah saya untuk memahami lebih lanjut tentang Open Government. Disamping itu, hal ini
menjadi bahan diskusi yang sangat menarik pada saat perkuliahan di semester
kedua di Program Doktor Ilmu Administrasi FIA UB. Apakah ini sebuah teori atau
sebuah konsep? Mari kita kaji bersama!
Jauh sebelum mendengar istilah Open Government, sebagai akademisi saya
hanya familiar dengan istilah Good
Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Teori ini pun sering saya
sampaikan di kelas kepada mahasiswa ilmu pemerintahan. Begitu juga pada saat
pembimbingan karya tulis skripsi, mahasiswa cukup banyak menggunakan istilah Good Governance sebagai Grand Theory (teori utama) dalam membedah
permasalahan empiris yang sedang dikaji berkaitan dengan penyelenggaraan politik
dan pemerintahan.
Pada perkembangan selanjutnya teori
ini berkembang tidak murni pada bidang ilmu pemerintahan tetapi lebih tepatnya
berkembang pada ilmu administrasi. Dimana diawali dengan munculnya istilah OPA
(Old Public Administration), NPA (New Public Administration, Frederickson,
1950an-1970an) NPM (New Public Management,
David Osborne, 1980an), NPS (New Public
Service, Denhardt&Denhardt,), Kepemerintahan (Governance), NPG (New Public
Governance, Stephen P. Osborne, 2010), Kolaboratif Pemerintahan (Collaborative Governance,
Donahue&Zechhauser,2011)), Kemitraan Pemerintahan (Partnership Governance), dan saat ini muncul istilah Pemerintah
Yang Terbuka (Open Government).
Secara terminologis governance dimengerti sebagai
kepemerintahan, sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa governance adalah sinonim government. Interpretasi dari
praktik-praktik governance selama ini
memang lebih banyak mengacu pada perilaku dan kapasitas pemerintah, sehingga good governance seolah-olah otomatis
akan tercapai apabila ada good government.
Berdasarkan sejarah ketika istilah governance
pertama kali diadopsi oleh para praktisi di lembaga pembangunan internasional,
konotasi governance, yang digunakan
memang sangat sempit dan bersifat teknokratis di seputar kinerja pemerintah
yang efektif: utamanya yang terkait dengan manajemen publik dan korupsi. Oleh
sebab itu, banyak kegiatan atau program bantuan yang masuk dalam kategori governance tidak lebih dari bantuan
teknis yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankan
kebijakan publik dan mendorong adanya pemerintah yang bersih (menghilangkan
korupsi). (Sumarto, 2009)
Sejatinya konsep governance harus dipahami sebagai suatu
proses, bukan struktur atau institusi. Governance
juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government
dilihat sebagai “mereka”, maka governance
adalah “kita”. Menurut Leach & Percy-Smith (2001) dalam Sumarto (2009), Government mengandung pengertian politisi
dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan,
sementara sisa dari ‘kita’ adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara
“pemerintah” dan “yang diperintah”, kita semua adalah bagian dari proses governance.
Sebagaimana penjelasan tersebut
diatas, maka akan lebih tepat jika istilah “Open
Government” berubah menjadi “Open
Governance”, karena makna Governance
mengandung pengertian sebagai sebuah “proses” dan sebagai sebuah
“inklusivitas”. Sedangkan government cenderung dimaknai sebagai sebagai sebuah
“struktur atau institusi” dan bersifat “eksklusif”. Meski demikian pemaknaan “Open Government” harus juga
memperhatikan latarbelakang munculnya konsep tersebut.
Istilah
umum dari sebuah “Open Government”
adalah suatu level tertinggi dari mekanisme dan transparansi dari tempat
pemeriksaan dan pengawasan publik, dengan menekankan pada akuntabilitas
pemerintah. Transparansi dianggap sebagai ciri tradisional dari sebuah “Open Government”, dengan maksud bahwa
publik harusnya memiliki akses kepada pejabat pengelola informasi dan
mendapatkan informasi yang cukup dari berbagai sumber pemerintah. Dewasa ini,
definisi dari “Open Government” telah
diperluas kepada harapan untuk meningkatkan partisipasi dan kolaborasi
masyarakat dalam pemerintahan melalui berbagai sarana dan prasarana modern,
yakni “Open Technologies”.
(opensource.com)
Ketika pemeriksaan dan kritik atas
pemerintah sebagai sebuah tradisi dalam kehidupan sosial masyarakat, gagasan
atas transparansi dan akses kepada informasi pemerintah adalah sebuah ide
modern yang lumrah, yang dapat dilacak pada masa perkembangan “Penerangan dan
Pengetahuan” abad 17 dan abad 18. Hak
dan kebebasan untuk berbicara, berekspresi, berkumpul, dan jurnalistik (pers)
diatur dalam undang-undang di berbagai negara di Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Hak Asasi ini melatarbelakangi pada terbentuknya pemerintahan yang
terbuka dan akuntabel pada masa itu, dan hingga sekarang tetap dianggap sebagai
sebuah gagasan modern.
Beberapa tahun terakhir, harapan dan
definisi dari “Open Government” telah
berubah, saat ini informasi tersedia begitu bebasnya dan selalu tersedia di
media internet. Setiap institusi pemerintah memiliki website masing-masing guna menyampaikan berbagai informasi kepada
publik/masyarakat berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya.
Praktek “Open Government” di Indonesia saat ini telah dimulai sejak tahun
2016. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah dikedepankan dengan mempermudah
akses masyarakat untuk ikut memeriksa dan mengkritisi atas kerja dan kinerja
pemerintah. Pemerintah saat ini telah mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk
mengawasi, memeriksa, dan melaporkan atas kinerja pemerintah yang dianggap
menyimpang atau melanggar aturan hukum yang berlaku. Hal ini ditandai dengan
menyediakan media aduan masyarakat pada setiap laman/website institusi pemerintah yakni: kanal “LAPOR”. Kanal ini dapat
digunakan masyarakat untuk menyampaikan aduan/keluhannya atas kinerja institusi
pemerintah yang bersangkutan. Praktek “Open
Government” tersebut terus diperluas dengan melibatkan seluruh insitusi
pemerintah di berbagai bidang seperti: Pendidikan, Kesehatan, Keuangan,
Parlemen dan Lingkungan Hidup serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Akses pemeriksaan dan kritisi
masyarakat kepada pemerintah yang disampaikan melalui jaringan internet tentu
memiliki keterbatasan. Sehingga harapannya kedepan dapat diperluas lagi
jaringannya sehingga dapat menyentuh lapisan masyarakat yang paling bawah,
yakni Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa. Dan jika memungkinkan masyarakat
juga dapat memeriksa dan mengkritisi aparat penegak hukum seperti: Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan. Tidak hanya terpaku pada institusi pemerintah yang
memberikan pelayanan publik secara langsung kepada masyarakat. Selain itu
proses “verifikasi” dan “validasi” atas laporan masyarakat harus dilakukan
dengan benar, sehingga tidak sampai menimbulkan persoalan baru yakni “hoax” dan
“fitnah” yang dapat merusak rasa keadilan masyarakat.
Sehingga akhirnya saya berpendapat
bahwa “Open Government” adalah sebuah
konsep yang masih harus dikaji dan diuji dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia. Mungkin konsep ini sudah cukup berkembang di Eropa Barat dan Amerika
Serikat, namun kondisinya bisa berbeda jika diterapkan di Indonesia. Bisa
sukses dan bisa juga sebaliknya?
1 Komentar:
Saat ini saya sedang riset tentang implementasi Open Givernment di sebuah kabupaten/kota, namun, kendala saya adalah pada teori yg digunakan dalam riset ini, yg spesifik bicara tentang open government itu sndiri. Ada masukan tidak pak?
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda