Sabtu, 29 Juni 2019

PILKADES SERENTAK JATIM


USAI PILPRES, LANJUT PILKADES: 
Menakar kualitas demokrasi di level akar rumput

Perhelatan Pilpres dan Pileg tahun 2019 telah berakhir. Peristiwa politik ini menyisakan banyak kesan dan pesan bagi kami akademisi di bidang ilmu sosial dan ilmu politik. Pemilihan legeslatif beberapa waktu lalu telah memberikan pembelajaran kepada kita bahwa kekuatan ideology partai tetap menjadi hal yang utama dalam menjaga eksistensi politik. Partai-partai baru yang bermunculan dengan mengandalkan kekuatan logistic tidak menjamin dapat sukses lolos dari ambang batas suara (parliamentary thereshold). Selain itu kekuatan figure tetap menjadi tolok ukur utama dalam mendulang suara kontestuen. Partai-partai baru yang berguguran meski berjuang lebih panjang untuk menjual idealisme mereka pada masa yang akan datang.
        
Selanjutnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berujung pada gugatan di Mahkamah Konstitusi telah sampai pada keputusan final. Dimana petahana dinyatakan layak sebagai pemenang karena tidak terbukti secara syah melanggar aturan pemilu. Gugatan-gugatan yang disampaikan kepada majelis hakim tidak satupun dikabulkan. Dan memang harus kita akui bahwa siapapun yang menjadi petahana dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memiliki kans yang kuat untuk mempertahankan kedudukan. Banyak hal yang bisa dilakukan, diantaranya adalah menjaga citra diri pribadi presiden dan melakukan kebijakan-kebijakan populis untuk mengamankan citra positif yang telah melekat di masyarakat. Kekuatan sumber daya kebijakan dan birokrasi adalah modal politik yang tidak dimiliki oleh kubu penantang. Namun demikian, saatnya kita menghela nafas yang panjang seraya mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan anugerah dan kesempatan melaksanakan Pemilihan Umum yang aman dan damai. Saatnya kita semua untuk move on focus kepada aktivitas kita sehari-hari sesuai dengan tugasnya masing-masing. Perbedaan pandang politik itu mesti diletakkan sebagai rahmatan lil alamin sebagai bentuk check and balance dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. “Meskipun tidak pernah naik kelas, tapi harus ikhlas”.
             

Pada kesempatan ini saya tidak ingin mengulas panjang lebar tentang Pilpres dan Pileg yang sudah berlalu. Selain sudah basi isu tersebut sudah sampai pada tahap final konstitusi sehingga tidak perlu dibahas terlalu jauh yang menimbulkan kebingungan di masyarakat. Isu lain yang tidak kalah pentingnya dalam menakar kualitas demokrasi kita saat ini sebenarnya Pemilihan Kepala Desa. Saya yakin ketika teman-teman mendengar dan membaca tentang topic Pilkades rasa tertarik dan perhatiannya tidak akan sekuat Pilpres dan Pileg. Tapi sebenarnya menurut saya Pilkades ini adalah kegiatan politik local yang mencerminkan karakter dan kepribadian demokrasi kita. Karena kegiatan pilkades relative mobilitas elit politik itu dijalankan dengan daya dan kemampuan mereka sendiri. Tidak banyak yang menjadi “Bandar atau backing politik” dalam memenangkan sebuah pertarungan. Pilkades serentak yang sedang dihelat di Jawa Timur pada tanggal 29 – 30 Juni 2019 ini memberikan banyak input wawasan bagi saya tentang dinamika politik local desa. Banyak pertanyaan – pertanyaan ringan yang muncul di benak saya dalam hal Pilkades tersebut, diantaranya: “Apakah Pilkades serentak ini masih membutuhkan biaya politik yang mahal sebagaimana tempo dulu”?, “Apakah Pilkades serentak ini memunculkan tensi politik local yang tinggi?”, “Apakah Pilkades serentak ini memunculkan kader-kader pemimpin desa yang menjadi harapan masyarakat?”, “Apakah Pilkades serentak bebas dari kepentingan politik dari supra system pemerintahan yang ada diatasnya?”. Dan masih banyak lagi. Termasuk juga “Bagaimana jika terjadi gugatan terhadap hasil Pilkades, apakah meski berakhir di meja Mahkamah Konstitusi?”. Karena ternyata instrument penyelenggara Pilkades tidaklah selengkap penyelenggara Pemilu yang meliputi DKPP, KPU, dan Bawaslu. Mekanisme pengawasan Pilkades murni mengandalkan keswadayaan masyarakat yang didukung oleh pemerintah. Pengawasan Pilkades dilakukan oleh saksi dari masing-masing calon Kades yang berkompetisi didukung oleh BPD dan panitia Pilkades. Sedangkan pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) bertugas untuk memfasilitasi dalam hal logistic dan anggaran Pilkades. Untuk keamanan dan ketertiban Pilkades tetap didukung oleh Polri dan TNI. Ada beberapa isu politik yang dapat saya tangkap dalam proses observasi lapangan Pilkades di sebuah Kabupaten N di Jawa Timur. Dan isu ini bisa menjadi renungan bagi kita apakah kualitas demokrasi di level akar rumput mengalami perbaikan ataukah sebaliknya?

Minim Kandidat Kades yang Potensial, Adu Kuat Pengaruh “Trah”
          Pilkades di Kabupaten N masih memunculkan figure-figure yang itu-itu saja. Harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin desa yang visioner yang memiliki pandangan dan semangat yang kuat untuk membangun dan mensejahterakan desa sepertinya belum juga kesampaian. Figur-figur yang dicalonkan sebagai Kades hanya mengandalkan keterikatan kekerabatan dan hubungan emosional semata. Masyarakat pendukung masih meyakini kedua hal tersebut ketimbang kapasitas dan kapabilitas intelektual. Meski di lokasi desa yang lain juga pertimbangan kekuatan materi dan kekayaan menjadi pertimbangan masyarakat dalam memberikan dukungan.
            Ketika masa pendaftaran Pilkades dibuka, masyarakat cenderung mendorong calon-calon Kades yang memiliki sejarah dulunya orang tuanya atau nenek moyangnya pernah menjadi Lurah/Kades. Masyarakat desa masih mempercayai bahwa kalau dulu sesepuhnya pernah menjadi Lurah maka anak turunnya setidaknya memiliki pengaruh dan kemampuan yang sama dalam memimpin desa. Masyarakat desa belum mampu berpikir secara lebih luas dan jernih figure yang lain yang patut dimunculkan dalam kontestasi Pilkades.
            Tapi bisa juga memang diluar “Trah” keluarga yang dulu pernah menjadi Lurah, tidak satupun layak untuk dicalonkan sebagai Kades. Terlebih banyak dari anggota keluarga yang bekerja diluar kota atau diluar negeri. Sehingga yang tersisa adalah orang-orang itu saja. Dapat dimaklumi jika masyarakat lebih memilih memunculkan figure yang lebih dikenal masyarakat secara pribadi, atau setidaknya dikenal oleh masyarakat karena memiliki “Trah” sebagai Lurah.

Fenomena “Musuh dalam Selimut”, sekaligus “Musuh dalam Politik”
          Ada fenomena unik yang dan menggelitik bagi saya, mungkin ini berkaitan minimnya figure potensial di desa. Atau bisa juga sebagai dari strategi politik dalam memenangkan kontestasi Pilkades. Ada beberapa desa yang mana calon yang muncul adalah suami dan isterinya. Hal ini berawal dari aturan Pilkades yang mana jika hanya terdapat 1 calon, maka masa pendaftaran Pilkades akan diperpanjang untuk mendapatkan setidaknya 2 calon. Jadi ramai-ramailah para calon tunggal itu untuk mendaftarkan istri atau suaminya sebagai musuh bayangan dalam Pilkades. Setidaknya ada 2 desa yang saya temui dalam observasi saya di Kabupaten N.

Vote Buying dan Money Politic Yang Tetap Asyik
          Saya menggunakan istilah vote buying untuk menjelaskan lebih spesifik bahwa memang ada dugaan upaya-upaya untuk membeli surat undangan pencoblosan digantikan dengan amplop yang berisikan uang. Meski tidak terjadi secara massif. Saya juga menggunakan istilah money politic atau istilahnya “mbah-mbah” yang ada di desa adalah “uang sangu” buat nyoblos ke TPS. Meski tidak ada data yang konkrit tapi faktanya hal ini menjadi rahasia umum masyarakat. Ada yang senilai 50 ribu/suara, ada yang 100 ribu/suara, ada yang 125 ribu/suara, dan ada juga yang 175 ribu/suara. Bahkan ada yang sanggup menambah 400 ribu/KK jika menang. Tapi kalau kalah harus bersedia mengembalikan. Nilai-nilai uang tersebut saya dengar langsung dari masyarakat dan sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah dalam Pilkades. Nilai sebesar 50 ribu/suara adalah nilai terendah yang diasumsikan sebanding dengan upah yang didapat jika tidak kerja sehari khusus untuk mencoblos.
            Jangan tanya dimana Bawaslu? Pilkades belum mengenal Bawaslu…    

Bupati Juga Punya Jago
          Hal lain yang menarik adalah adanya dugaan kekuatan “Patron Politik” yang lebih besar yang memiliki kepentingan dalam Pilkades yakni Bupati. Sebagian kelompok masyarakat mungkin tidak menyadari bahwa ada preferensi dari Bupati untuk mendukung dan memenangkan calon-calon yang dipilihnya. Hal ini sebenarnya juga dapat dijelaskan secara ilmiah, bahwa Bupati adalah Patron yang wajib didukung oleh “Client-nya” yakni pendukungnya elit desa dan masyarakat. Sehingga jika calon-calon Kades yang didukung oleh Bupati menang, maka kekuataan pemerintah daerah akan semakin terjaga. Sekaligus juga akan mendukung terhadap kelancaran pemerintahan daerah, dimana kebijakan Bupati akan selalu mendapat dukungan dari pemerintah desa. Kohesivitas dalam hubungan “Patron-Client” inilah yang menjadi latarbelakang preferensi Bupati dalam Pilkades serentak di Kabupaten N.
            Apakah fenomena ini positif atau negatif? Politik adalah seni kemungkinan, maka ini adalah  bentuk usaha untuk mengganti kemungkinan menjadi kepastian. Menjadi hal yang positif jika mendukung kebijakan pemerintah daerah yang pro terhadap kepentingan masyarakat banyak.

            
Catatan lain yang dapat saya tangkap dan sampaikan dalam observasi lapangan di Kabupaten N ini adalah tidak munculnya isu SARA baik itu soal Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan. Hal ini sangat berbeda dengan beberapa Pilkades yang dilaksanakan lebih dari 5 tahun yang lalu. Gesekan antar pendukung calon Kades banyak disebabkan oleh isu agama. Tapi sekarang keadaannya jauh berbeda. Masyarakat desa tidak mempan dipancing soal isu agama. Masyarakat lebih memilih melihat “besaran sangunya” dan “Trahnya”. Demikian catatan singkat saya dalam pelaksanaan Pilkades serentak di Kabupaten N.