TUGAS BELAJAR (2): Sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang tidak mudah,….
Dulu sekitar bulan September
2016 ketika ada pembekalan mengenai beasiswa dari lembaga pengelola beasiswa
ada satu pesan dari salah satu pematerinya begini: “ agar kiranya kami yang sedang tugas belajar ini dan calon penerima
beasiswa ini tidak merubah gaya hidupnya”.
Nah, ini menarik bagi saya, karena perubahan gaya hidup itu sudah dimulai jauh
hari ketika saya memutuskan untuk berangkat ‘Tugas Belajar’. Perubahan dari
tadinya memiliki banyak pinjaman kredit untuk hal-hal yang konsumtif seperti
elektronik, mobil, dan motor meski harus saya selesaikan, harus saya lunasi
agar tidak menjadi “beban berjalan”. Yang tadinya saya masih bisa beli pulsa
untuk tagihan untuk dua nomor ponsel pasca bayar, kemudian saya harus menghemat
cukup menggunakan 1 ponsel saja. Yang tadinya kami bisa berbagi kamar tidur
dengan anak-anak saya dengan fasilitas pendingin ruangan masing-masing,
sekarang mesti kami hemat tidur sekamar berempat agar menghemat tagihan
listrik. Jadi sebenarnya apa yang dipesankan oleh pemateri tersebut menjadi
sebuah “paradox” yang mana seolah-olah beasiswa yang kita terima itu jumlahnya
begitu besar berlimpah yang bisa membuat kita silau atau bahkan sampai merubah
gaya hidup. Tapi sebenarnya juga ada benarnya ya, ketika jumlah dan item
beasiswa yang diterima itu dikonsumsi oleh penerima beasiswa yang masih “bujangan”.
Ya memang cukup besar karena tingkat kebutuhannya hanya pribadi bukan keluarga,
sebagaimana saya yang kebetulan sebagai “Kepala Keluarga”.
Sebuah perjalanan intelektual
Meski
demikian, saya tetap berusaha untuk bersyukur dengan segala keterbatasan
ekonomi atau yang sering saya analogikan sebagai “masa berpuasa dan tiarap
ekonomi” saya dan istri lebih terasah dalam mengelola keuangan. Kami lebih bisa
memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan mana yang harus didahulukan dan
kebutuhan-kebutuhan mana yang bisa ditunda.
Tantangannya adalah pada
motivasi belajar kita, terkadang banyak kebutuhan akademik yang ingin kita
penuhi dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan akademik, tapi
ternyata kondisi keuangan kita tidak mendukung. Kita ingin membeli beberapa
buku/literature yang bagus tapi mahal, takut uangnya tidak cukup. Kita ingin
ikut seminar internasional didalam negeri atau luar negeri takutnya uangnya
tidak cukup, kita ingin ikut berbagai pelatihan metodologi penelitian (SEM,
Lisrel, NVivo, dll) takutnya uangnya tidak cukup, kita ingin membeli beberapa
software yang mendukung akademik (NVivo, SPSS, Grammarly, dll) takutnya uangnya
tidak cukup. Keadaan-keadaan seperti inilah yang seringkali menggangu terhadap
motivasi belajar kita. Dan inilah tantangannya teman-teman.
Sebuah perjalanan spiritual
Sebenarnya
saya sudah bisa membuat semacam kesimpulan awal bahwa “kecukupan besaran
beasiswa” itulah yang sangat mempengaruhi terhadap minat para dosen untuk
memilih dan memutuskan kapan harus mengajukan ‘tugas belajar’. Banyak diantara
teman-teman kita yang masih menunda-nunda sambil menunggu semua siap. Tapi saya
yakin juga tidak akan kita pernah merasa siap untuk memutuskan tugas belajar
kalau orientasi kita adalah kesiapan ekonomi. Semakin kita berumur semakin
anak-anak tumbuh remaja, maka kebutuhan ekonomi keluarga kita akan semakin
meningkat. Dan lain sisi kemampuan fisik dan kemampuan berpikir kita akan
semakin menurun seiring bertambahnya usia.
Mungkin
inilah yang kita sering sebut sebagai “empirical gap”. Dalam hal ini sepanjang
saya telah melaksanakan tugas belajar ini, mendorong kami untuk lebih
mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa. Mendorong kami untuk lebih berpasrah
diri kepada yang Maha Esa. Semakin hidup kami terpepet oleh kebutuhan hidup
semakin kami ingin mendekatkan diri kepada yang Maha Pemurah.
Waktu
yang sedikit senggang dan longgar dibandingkan ketika masih aktif mengajar dan
tugas tambahan membuat saya ingin lebih dekat dan lebih khusyu’ kepada Allah
SWT. Terkadang kami bingung dan tak tahu bagaimana mencukupi kebutuhan. Kami
berdoa dalam setiap sujud 5 waktu kami, kami berdoa dalam setiap sujud
sepertiga malam kami, kami berdoa dalam setiap sujud waktu dhuha kami. Dan Alhamdulillah,
pertolongan-pertolongan Tuhan itu datang dari arah yang tak disangka-sanggka. Ada
yang datang dari teman kuliah S1, ada yang datang dari temannya teman, ada yang
datang dari saudara, ada yang datang dari mantan mahasiswa, dan sebagainya. Meski
saya akui di awal-awal perjalanan ini saya merasa seperti pensiunan, seperti
barang rongsokan yang tak berarti, seperti kehilangan eksistensi. Dan saya sadar
ini adalah gejala awal “postpower-syndrom” yang mesti segera saya atasi agar
tidak menjadi toxic bagi proses tugas
belajar yang sedang saya jalani.
Dan
hingga hari ini saya pun masih terus berproses, masih terus belajar: belajar menjaga hati, belajar menjaga
akal-pikir, belajar sabar, belajar ikhlas, dan belajar menjaga idealisme agar
tidak terjebak pada pragmatisme (yang penting cepat selesai).