Rabu, 16 Oktober 2019

TUGAS BELAJAR (2): Sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang tidak mudah,….



                Dulu sekitar bulan September 2016 ketika ada pembekalan mengenai beasiswa dari lembaga pengelola beasiswa ada satu pesan dari salah satu pematerinya begini: “ agar kiranya kami yang sedang tugas belajar ini dan calon penerima beasiswa ini  tidak merubah gaya hidupnya”. Nah, ini menarik bagi saya, karena perubahan gaya hidup itu sudah dimulai jauh hari ketika saya memutuskan untuk berangkat ‘Tugas Belajar’. Perubahan dari tadinya memiliki banyak pinjaman kredit untuk hal-hal yang konsumtif seperti elektronik, mobil, dan motor meski harus saya selesaikan, harus saya lunasi agar tidak menjadi “beban berjalan”. Yang tadinya saya masih bisa beli pulsa untuk tagihan untuk dua nomor ponsel pasca bayar, kemudian saya harus menghemat cukup menggunakan 1 ponsel saja. Yang tadinya kami bisa berbagi kamar tidur dengan anak-anak saya dengan fasilitas pendingin ruangan masing-masing, sekarang mesti kami hemat tidur sekamar berempat agar menghemat tagihan listrik. Jadi sebenarnya apa yang dipesankan oleh pemateri tersebut menjadi sebuah “paradox” yang mana seolah-olah beasiswa yang kita terima itu jumlahnya begitu besar berlimpah yang bisa membuat kita silau atau bahkan sampai merubah gaya hidup. Tapi sebenarnya juga ada benarnya ya, ketika jumlah dan item beasiswa yang diterima itu dikonsumsi oleh penerima beasiswa yang masih “bujangan”. Ya memang cukup besar karena tingkat kebutuhannya hanya pribadi bukan keluarga, sebagaimana saya yang kebetulan sebagai “Kepala Keluarga”.
Sebuah perjalanan intelektual
            Meski demikian, saya tetap berusaha untuk bersyukur dengan segala keterbatasan ekonomi atau yang sering saya analogikan sebagai “masa berpuasa dan tiarap ekonomi” saya dan istri lebih terasah dalam mengelola keuangan. Kami lebih bisa memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan mana yang harus didahulukan dan kebutuhan-kebutuhan mana yang bisa ditunda.
                Tantangannya adalah pada motivasi belajar kita, terkadang banyak kebutuhan akademik yang ingin kita penuhi dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan akademik, tapi ternyata kondisi keuangan kita tidak mendukung. Kita ingin membeli beberapa buku/literature yang bagus tapi mahal, takut uangnya tidak cukup. Kita ingin ikut seminar internasional didalam negeri atau luar negeri takutnya uangnya tidak cukup, kita ingin ikut berbagai pelatihan metodologi penelitian (SEM, Lisrel, NVivo, dll) takutnya uangnya tidak cukup, kita ingin membeli beberapa software yang mendukung akademik (NVivo, SPSS, Grammarly, dll) takutnya uangnya tidak cukup. Keadaan-keadaan seperti inilah yang seringkali menggangu terhadap motivasi belajar kita. Dan inilah tantangannya teman-teman.
Sebuah perjalanan spiritual
Sebenarnya saya sudah bisa membuat semacam kesimpulan awal bahwa “kecukupan besaran beasiswa” itulah yang sangat mempengaruhi terhadap minat para dosen untuk memilih dan memutuskan kapan harus mengajukan ‘tugas belajar’. Banyak diantara teman-teman kita yang masih menunda-nunda sambil menunggu semua siap. Tapi saya yakin juga tidak akan kita pernah merasa siap untuk memutuskan tugas belajar kalau orientasi kita adalah kesiapan ekonomi. Semakin kita berumur semakin anak-anak tumbuh remaja, maka kebutuhan ekonomi keluarga kita akan semakin meningkat. Dan lain sisi kemampuan fisik dan kemampuan berpikir kita akan semakin menurun seiring bertambahnya usia.
Mungkin inilah yang kita sering sebut sebagai “empirical gap”. Dalam hal ini sepanjang saya telah melaksanakan tugas belajar ini, mendorong kami untuk lebih mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa. Mendorong kami untuk lebih berpasrah diri kepada yang Maha Esa. Semakin hidup kami terpepet oleh kebutuhan hidup semakin kami ingin mendekatkan diri kepada yang Maha Pemurah.
Waktu yang sedikit senggang dan longgar dibandingkan ketika masih aktif mengajar dan tugas tambahan membuat saya ingin lebih dekat dan lebih khusyu’ kepada Allah SWT. Terkadang kami bingung dan tak tahu bagaimana mencukupi kebutuhan. Kami berdoa dalam setiap sujud 5 waktu kami, kami berdoa dalam setiap sujud sepertiga malam kami, kami berdoa dalam setiap sujud waktu dhuha kami. Dan Alhamdulillah, pertolongan-pertolongan Tuhan itu datang dari arah yang tak disangka-sanggka. Ada yang datang dari teman kuliah S1, ada yang datang dari temannya teman, ada yang datang dari saudara, ada yang datang dari mantan mahasiswa, dan sebagainya. Meski saya akui di awal-awal perjalanan ini saya merasa seperti pensiunan, seperti barang rongsokan yang tak berarti, seperti kehilangan eksistensi. Dan saya sadar ini adalah gejala awal “postpower-syndrom” yang mesti segera saya atasi agar tidak menjadi toxic bagi proses tugas belajar yang sedang saya jalani.
Dan hingga hari ini saya pun masih terus berproses, masih terus belajar: belajar menjaga hati, belajar menjaga akal-pikir, belajar sabar, belajar ikhlas, dan belajar menjaga idealisme agar tidak terjebak pada pragmatisme (yang penting cepat selesai). 
 

Sabtu, 12 Oktober 2019

Ph.D PARENTING (1): Indahnya kebersamaan,…



Saya berangkat dari Palangka Raya untuk menjalankan tugas belajar sejak 14 Juni 2016, artinya saat ini sudah menempuh waktu 3 tahun 4 bulan. Dan selama itu anak pertama saya sudah lulus SD dan saat ini sudah di kelas 9 MTsN. Sedangkan anak kedua saya sudah di kelas 4 SDIT. Awal-awal kami berada di Kota Batu mengalami proses adaptasi yang cukup berat. Mulai dari penyesuaian iklim yang dingin, menyesuaikan dengan dinamika psikologi keluarga besar saya, menyesuaikan kultur lingkungan social tempat tinggal kami, yang seringkali mengganggu terhadap kesehatan. Sempat anak pertama saya opname di tahun 2017, kemudian adiknya opname di tahun 2018. Padahal nih ya mereka ini selama ini di Palangka Raya nggak pernah opname. 

Keputusan saya untuk memboyong keluarga ikut dalam masa tugas belajar saya dilatarbelakangi oleh masa kecil saya. Saya tidak ingin kehilangan masa-masa kecil anak saya yang dapat dipeluk dan dicium. Karena saya sadar setelah mereka menginjak remaja, maka mereka akan lebih banyak waktunya dengan komunitas mereka. Saya pun ingin memberikan inspirasi dan menanamkan nilai kepada anak-anak saya bagaimana kita harus berjuang dan bertahan untuk menggapai cita-cita tertinggi. Agar mereka berdua tahu bahwa setiap proses dan fase hidup itu harus dijalani, dinikmati, dan disyukuri. Karena pada saatnya mereka pun akan dihadapkan pada tantangan hidup yang semakin berat.

Memang keputusan ini membawa konsekuensi, terkadang untuk mengurus mereka berdua kami (saya dan istri) harus berbagi perhatian dan focus saya terhadap studi. Kalau mereka sedang sakit atau memerlukan bantuan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah pastinya kami harus tinggalkan dulu urusan kampus. Kami seringkali dihadapkan pada kondisi dimana kami harus bergerak cepat untuk membagi waktu yang ada. Terkadang sehari itu rasanya kurang kalau hanya 24 jam. Karena masih banyak hal yang belum selesai untuk dikerjakan.

Memang keputusan ini relative menghambat laju perkembangan tugas belajar kami, terlebih sang Bunda juga sedang mengambil studi magister di sebuah PTS di Kota Malang. Tapi ya, kami jalani aja. Dan Alhamdulillah sang Bunda juga telah wisuda pada awal tahun 2019 ini. Anak-anak pun saat ini sudah bisa menyesuaikan dengan keadaan sekolah dan juga lingkungan social dimana tempat kami tinggal. Meski prestasi akademik mereka masih terus harus dipantau dan didorong untuk menjadi lebih baik lagi. Kami perlu lebih mencurahkan perhatian terhadap perkembangan kedua anak kami yang satu sedang menginjak masa remaja. Dan satunya lagi sedang aktif-aktifnyanya bereksplorasi dengan imajinasinya. Ya semoga saja, mereka berdua dapat tumbuh sempurna secara fisik maupun psikologisnya. Saya ingin mereka memiliki kemampuan akademik yang baik, wawasan yang luas, dan memiliki etika pribadi yang baik. SDM yang unggul untuk 'Indonesia Maju' (Kata: Pak Jokowi).

Untuk itu kami ingin untuk tetap bersama sampai dengan masa tugas belajar ini selesai dengan tuntas. Kami ingin menikmati setiap fase kehidupan ini dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Dan semoga tahun depan kebersamaan kami bisa berlanjut di Kota Cantik Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Aminnn Ya Allah.


       

TUGAS BELAJAR (1): Berproses dengan benar itu akan indah pada waktunya,…



            Ketika ini judul ini saya tulis, saya baru menyadari bahwa cerita suka dan duka semasa menempuh tugas belajar itu mestinya bisa saya dokumentasikan, bisa saya abadikan dalam sebuah karya tulis. Sayang sekali sebenarnya sudah banyak yang terlewatkan moment-moment berharga itu. Mungkin ini terjadi karena saya kurang focus dan kurang greget dalam mengasah diri untuk lebih produktif lagi menulis. Masih sering terpengaruh oleh suasana hati (moody). Ya sudahlah, mungkin itu suratan takdir.

            Kemarin hari Jumat, 11 Oktober 2019 saya mendapatkan tugas dan amanah dari seorang teman yang melaksanakan Seminar Hasil Penelitian. Tugas sebagai moderator. Tugas ini sebenarnya sudah seringkali saya dapatkan. Meski sukarela tapi saya senang hati untuk terus membantu teman-teman yang membutuhkan. Hal berharga yang saya dapatkan bukanlah imbalan materi, tapi saya lebih banyak dan lebih sering berinteraksi dengan para dosen saya khususnya dosen di Prodi S3 Ilmu Administrasi Publik. Saya jadi lebih tahu karakter dan gaya masing-masing dosen penguji. Sungguh ini moment-moment yang sangat berharga bagi saya.

            Seminar hasil penelitian kali ini terasa lebih istimewa karena yang punya hajat adalah teman satu angkatan saya yakni 2016. Ini adalah mahasiswa pertama di kelas regular 1 yang mampu sampai pada tahap ini dan berhasil mempublikasikan 2 artikel jurnal internasional terindeks scopus. Sunggguh ruuuaaarrr biasa. Saya mengenal beliau ini sebagai sosok yang ngeyel, ngotot, dan memang ulet saya akui itu. Memang setiap usaha tak pernah mengkhianati hasil. Namun demikian penguasaan terhadap hasil penelitian disertasi seharusnya sebanding dengan kemampuan publikasi internasional, apalagi scopus.

            Hal ini menjadi autokritik buat saya yang belum sampai pada tahap seminar hasil. Saat ini saya masih melakukan pengolahan dan analisa data setelah menyelesaikan 3x FGD di lokasi penelitian. Saat ini pun saya belum mampu mempublikasikan satu jurnal scopus. Meski sebelumnya sudah ada 2 artikel prosiding yang sempat publish di atlantispress. Untuk itu saya pun bertekad dalam waktu yang sempit ini dimana 31 Agustus 2020 adalah batas akhir beasiswa dan masa tugas belajar saya. Saya akan berusaha keras setidaknya 1 artikel bisa terpublikasi jurnal internasional meskipun itu adalah low index. Setelah 1 artikel lagi akan saya perjuangkan untuk bisa submit dan accepted di jurnal yang terindeks scopus. Semoga saja. Agak berat sebenarnya kalau melihat sisa waktu yang ada.

            Tapi satu hal saya akan berusaha dengan kemampuan saya sendiri untuk menulis draft, mulai dari submitting sampai dengan memperoleh Letter of Acceptence. Karena bagi saya pengalaman dan pembelajaran dalam menulis artikel jurnal ilmiah internasional bereputasi itu nggak bisa instan. Perlu proses dan kesabaran. Tidak ujug-ujug jadi dan langsung dapat LoA. Kita mesti tahu tahapannya. Dan juga keywordnya: manuscriptàmendeleydesktopàNvivo12à grammarlyàtargetting journal  (h-index)à authorguidelineà, fee article processà, time for receivedà, time for accepted, time for publishing. Semua itu mesti kita jalani sendiri untuk menjadi seorang yang EXPERT. Maka berproses dengan benar itu akan indah pada waktunya.