PASCA WORKSHOP SDM: What Next?
PASCA
WORKSHOP SDM: What Next?
Ketika
saya menghadiri worskhop SDM ini mengingatkan saya pada sekitar 12 tahun yang
lalu dimana saya masih menjadi bagian dari anak perusahaan PT. Astra
International. Yakni ‘Tiga Pilar Perusahaan’ yang meliputi: people, system, and process. Sehingga apa
yang sudah dilaksanakan ini semestinya bisa dilanjutkan dalam workshop lanjutan
yang bertema sistem dan proses. Hal ini sejalan dengan beberapa saran dan
masukan dari unsur dosen maupun pembina universitas agar kiranya kegiatan
seperti ini dapat ditambah.
Sebelum
saya lebih lanjut ingin berbagi pokok-pokok pikiran saya berkaitan dengan
materi dan pembahasan yang sudah disajikan dalam workshop tersebut, ijinkan
saya untuk memposisikan diri sebagai ‘Outsider Think-thank’ dalam keluarga
besar......bukan bagian dari sistem administratif secara formal. Apa yang saya
sampaikan sekedar sumbangsih pemikiran sebagai akademisi sekaligus mantan
praktisi di bidang administrasi akademik.
Mungkin
tulisan saya ini tidak perlu ditanggapi terlalu serius, mengingat bobotnya dianggap
terlalu ringan. Anggap saja tulisan saya ini adalah “angin sepoi-sepoi” di
Puncak Ayanna yang enak dinikmati sambil minum kopi dan mendengarkan lagunya
Broery Marantika yang berjudul “Jangan Ada Dusta Diantara Kita...”. Dan semoga
saja angin sepoi-sepoi itu bisa terbawa dan terkenang sampai ke Mojokerto.
Tulisan
ini sengaja saya coba sajikan dalam ukuran font yang agak besar agar lebih
mudah dibaca sampai selesai oleh semua umur. Dan semoga saja tidak cuman dibaca
judulnya saja, atau bahkan diskip-skip
yang akhirnya meninggalkan makna inti dari sebuah tulisan.
WEB-SISTER-Jurnal-Sinta-Jafung
Susunannya
sengaja saya tulis seperti ini ‘WEB-SISTER-Jurnal-Sinta-Jafung’ karena ini
adalah alur ‘input-proses-output’ atau proses dari ‘hulu ke hilir’. Ini adalah
5 instrumen pokok yang semestinya, sewajarnya, selazimnya dimiliki oleh setiap
institusi pendidikan tinggi baik itu PTN maupun PTS. Namun kita semua tahu
ternyata hingga hari ini menghadirkan ke 5 intrumen pokok tersebut tidaklah
mudah. Ada persoalan perbedaan perspektif, ada persoalan administratif, ada
persoalan anggaran, ada persoalan teknis informatika yang ke semuanya itu
adalah bagian dari pada “barrier” (faktor penghambat). Saya lebih senang
menyebutnya ini sebagai sebuah persoalan/permasalahan. Meski saya tahu sebagian
teman-teman menganggap ini bukanlah persoalan. Sebagian menganggap ini sebuah
dinamika perkembangan jaman yang boleh diikuti ataupun tidak diikuti.
Kalau
kita sempat mengangkat istilah ‘Revolusi Industri 4.0 (baca= four poin zero
atau empat titik nol)’ maka sebenarnya kita tahu bahwa tuntutan ke 5 instrumen
pokok tersebut adalah bagian darinya. Adapun ciri-cirinya adalah kecepatan dan
ketepatan dalam menghadapi perubahan perkembangan jaman. Termasuk didalamnya menghadapi
persaingan pasar.
Ketika
kita berbicara tentang Web maka
hendaknya kita pahami bahwa Web adalah sarana publikasi dan informasi kepada
publik berkaitan dengan kegiatan sebuah kampus. Dan dalam perkembangannya Web
tidak hanya bersifat informatif tapi juga transaksional dimana salah satunya
bisa dihubungkan (dilinkkan) dengan SISTER ristekdikti. Sehingga dapat
memfasilitasi kebutuhan para dosen dalam pengurusan jabatan fungsional. Dan
sebisa mungkin pengadaan dan pengelolaan Web dilakukan oleh sebuah unit khusus
yang sering kita sebut dengan UPT TIK (Unit Pelaksana Teknis Teknologi, Informasi,
dan Komunikasi). Atau ada yang menggunakan istilah BPTIK (Badan Pengelola
Teknologi, Informasi, dan Komunikasi). Sehingga poinnya adalah pengelolaan TIK harusnya tidak dilakukan
perorangan tetapi harus dilakukan oleh sebuah unit khusus, yang didalamnya
terdiri atas orang-orang yang kompeten dibidang IT, Humas, dan Komunikasi
Publik. Dalam perkembangannya UPT TIK akan melakukan berbagai perencanaan
program, implementasi, dan evaluasi terhadap pengelolaan TIK dalam satu tahun
anggaran. Lebih jauh UPT TIK dapat menyusun Renstra dan Roadmap dalam rangka
pengembangan TIK jangka panjang. Hal konkrit yang meski mampu dihadirkan adalah
tersedianya Bandwidth (minimal 30 MB) yang cukup untuk dapat dimanfaatkan oleh
seluruh civitas akademika (dosen, mahasiswa, dan tendik).
Jika
infrastruktur TIK sudah terbangun dan tersedia dengan baik, maka pengembangan
dalam pengelolaan Jurnal- Sinta-Jafung akan mengikutinya. Karena ketiga hal ini
membutuhkan domain dan konektivitas internet yang baik dan stabil. Termasuk nanti
yang mengikuti adalah terbangunnya siakad (sistem informasi akademik)
Jurnal
Ketika
saya diajak berbicara tentang jurnal,
ini membuat saya merasa tersendir dan tersenyum, karena ternyata kita harus bisa memposisikan
diri dalam 2 posisi yang berbeda. Satu sebagai penulis dan satu sebagai pengelola.
Hal yang lebih sulit adalah ketika kita sebagai dosen ingin produktif untuk
menulis jurnal tetapi sekaligus berkewajiban untuk mengelola jurnal, maka
disitulah “adrenalin” kita akan terpacu dengan deras. Karena setiap saat harus
berpikir keras bagaimana menghadirkan tulisan artikel yang baik dalam jurnal
yang bukan “jurnal abal-abal”. Yang harus kita ketahui saat ini bahwa jurnal
itu dituntut tidak hanya dipublikasikan dalam bentuk cetak (print) tapi meski
bisa disajikan secara online melalui link (url) yang terkoneksi dengan sistem
Garuda dan sistem Arjuna Ristekdikti. Sehingga jurnal yang sudah memiliki
p-issn (cetak) harusnya juga memiliki e-issn (online). Dan sekali lagi
pengelolaan jurnal ini semestinya adalah subdomain (bagian) dari web
universitas. Dan tidak boleh terpisah-pisah. Apalagi masing-masing fakultas
memiliki domain masing-masing yang tidak terintegrasi dengan domain
universitas.
Meski
disadari bahwa untuk mengelola jurnal yang baik membutuhkan passion dari seorang dosen. Karena
disini relatif tidak ada keuntungan secara material didapatkan. Tetapi kalau bisa
sabar dan ulet dalam mengelola jurnal kekayaan intelektual itu akan berlimpah
untuk didapatkan. Untuk itu perlu adanya personil dari dosen yang bertanggung
jawab terhadap pengelolaan jurnal baik di tingkat fakultas maupun universitas.
Dan
perlu diketahui bersama bahwa kedepan yang namanya Skripsi, Tesis, dan
Disertasi bukanlah yang utama. Yang utama kedepan adalah publikasi ilmiah
kepada jurnal bereputasi yang terindeks baik Scopus, Thomson, WoS, dan
lain-lain. Inilah yang sedang menjadi perhatian utama Kemenristekdikti.
Jafung
Jabatan
fungsional adalah indikator karir seorang dosen mulai dari tingkat asisten ahli
sampai dengan Guru Besar / Profesor. Dimana untuk meraih itu harus melaksanakan
Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian
dan publikasi ilmiah, pengabdian masyarakat serta kegiatan penunjang lainnya. Sehingga
tugas dosen itu tidak melulu mengajar tapi juga harus bisa meneliti,
mempublikasi, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat luas.
Setelah
saya melakukan sedikit diskusi melalui berbagai kanal informasi yang ada,
sampai pada satu kesimpulan bahwa pengurusan jabatan fungsional itu tidak
tergantung pada keberadaan Web dan SISTER. Pengajuannya bisa dilakukan
secara manual kepada pihak universitas dan LLDIKTI. Sehingga ketika ada “jalan
buntu” terkait pengajuan Jafung ini mungkin perlu dilakukan cek dan ricek
kepada pihak-pihak yang mengurus, apakah harus tersedia Web dan SISTER terlebih
dahulu atau tidak. Dan meski dicarikan alternatif solusinya.
Meski dikawal
Upaya-upaya
untuk membangun sistem TIK yang baik dalam sebuah universitas dibutuhkan good will dan political will dari unsur pimpinan. Karena hal ini adalah bagian
dari kebutuhan strategis pengembangan universitas. Upaya pengadaan Web
Universitas, Web Fakultas, SIAKAD, SIMPEG, dan lain-lain yang berbasis pada
domain universitas meski dilakukan perencanaan yang baik. Dan yang terpenting
didukung oleh anggaran yang memadai. Kerjasama dengan rekanan atau pihak
provider meski diikat dalam perjanjian kontrak yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga
ketika terjadi wanprestasi maka masing-masing pihak memiliki kekuatan hukum
untuk menuntut apa yang menjadi haknya.
Dan
sekali lagi perlu dikawal progress-nya: day
by day, week by week, dan month by month
Staf Ahli Rektor yang milenial
Inisiatif
rektor untuk mengajak dan merekrut para dosen muda sebagai advisor kepada rektor meski disambut dengan gegap gempita. Hal ini
adalah bentuk intervensi rektor dalam mendorong keterbukaan dan peningkatan
kualitas pengelolaan universitas yang lebih baik lagi, sekaligus sebagai bentuk “Open
Management” dalam pengelolaan universitas. Namun demikian keberadaan mereka
hendaknya mendapatkan legalitas formal yang jelas, misalnya diwadahi sebagai unit
“Staf Ahli Rektor” yang dibagi menjadi beberapa bidang sesuai dengan kebutuhan
rektor dalam mewujudkan dan mengakselerasi visi dan misi rektor. Secara konkrit
Staf Ahli Rektor dapat melakukan diskusi-diskusi rutin mingguan atau bulanan
dalam rangka mencari terobosan atas persoalan-persoalan internal yang dihadapi
oleh universitas. Hasil diskusi-diskusi tersebut menjadi bahan pertimbangan
rektor secara objektif dalam mengambil sebuah keputusan.
Saya
paham bahwa kita semua memiliki prioritas dalam aktivitas sebagai dosen. Terlebih
lagi sebagian dari kita masih memiliki tugas dan profesi diluar sebagai dosen. Sehingga
memang harus diakui bahwa kebutuhan SDM yang bisa bekerja secara penuh, fokus,
dan all out cukup sulit untuk
ditemukan. Namun demikian setidaknya kita bisa menjadi trigger (faktor pendorong)
yang positif bagi pengembangan universitas. Dan bukan menjadi barrier (faktor penghambat) yang negatif
bagi pengembangan universitas.
Demikian
yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat untuk bergerak dan berubah ke arah
yang lebih baik. Terakhir meski kita sadari bahwa perubahan itu pasti terjadi, pilihannya adalah perubahan yang cepat
ataukah perubahan yang lambat. Itu sangat bergantung kepada kita semua.
Salam
damai dan kekeluargaan.... (pinjam ‘istilah’ bu Setyaasih)
Salam
luar biasa!!!....Sinergi!!!......Jaya!!!