Minggu, 24 Februari 2019

PASCA WORKSHOP SDM: What Next?

PASCA WORKSHOP SDM: What Next?

Ketika saya menghadiri worskhop SDM ini mengingatkan saya pada sekitar 12 tahun yang lalu dimana saya masih menjadi bagian dari anak perusahaan PT. Astra International. Yakni ‘Tiga Pilar Perusahaan’ yang meliputi: people, system, and process. Sehingga apa yang sudah dilaksanakan ini semestinya bisa dilanjutkan dalam workshop lanjutan yang bertema sistem dan proses. Hal ini sejalan dengan beberapa saran dan masukan dari unsur dosen maupun pembina universitas agar kiranya kegiatan seperti ini dapat ditambah.


Sebelum saya lebih lanjut ingin berbagi pokok-pokok pikiran saya berkaitan dengan materi dan pembahasan yang sudah disajikan dalam workshop tersebut, ijinkan saya untuk memposisikan diri sebagai ‘Outsider Think-thank’ dalam keluarga besar......bukan bagian dari sistem administratif secara formal. Apa yang saya sampaikan sekedar sumbangsih pemikiran sebagai akademisi sekaligus mantan praktisi di bidang administrasi akademik.

Mungkin tulisan saya ini tidak perlu ditanggapi terlalu serius, mengingat bobotnya dianggap terlalu ringan. Anggap saja tulisan saya ini adalah “angin sepoi-sepoi” di Puncak Ayanna yang enak dinikmati sambil minum kopi dan mendengarkan lagunya Broery Marantika yang berjudul “Jangan Ada Dusta Diantara Kita...”. Dan semoga saja angin sepoi-sepoi itu bisa terbawa dan terkenang sampai ke Mojokerto.

Tulisan ini sengaja saya coba sajikan dalam ukuran font yang agak besar agar lebih mudah dibaca sampai selesai oleh semua umur. Dan semoga saja tidak cuman dibaca judulnya saja, atau bahkan diskip-skip yang akhirnya meninggalkan makna inti dari sebuah tulisan.     

WEB-SISTER-Jurnal-Sinta-Jafung
Susunannya sengaja saya tulis seperti ini ‘WEB-SISTER-Jurnal-Sinta-Jafung’ karena ini adalah alur ‘input-proses-output’ atau proses dari ‘hulu ke hilir’. Ini adalah 5 instrumen pokok yang semestinya, sewajarnya, selazimnya dimiliki oleh setiap institusi pendidikan tinggi baik itu PTN maupun PTS. Namun kita semua tahu ternyata hingga hari ini menghadirkan ke 5 intrumen pokok tersebut tidaklah mudah. Ada persoalan perbedaan perspektif, ada persoalan administratif, ada persoalan anggaran, ada persoalan teknis informatika yang ke semuanya itu adalah bagian dari pada “barrier” (faktor penghambat). Saya lebih senang menyebutnya ini sebagai sebuah persoalan/permasalahan. Meski saya tahu sebagian teman-teman menganggap ini bukanlah persoalan. Sebagian menganggap ini sebuah dinamika perkembangan jaman yang boleh diikuti ataupun tidak diikuti.

Kalau kita sempat mengangkat istilah ‘Revolusi Industri 4.0 (baca= four poin zero atau empat titik nol)’ maka sebenarnya kita tahu bahwa tuntutan ke 5 instrumen pokok tersebut adalah bagian darinya. Adapun ciri-cirinya adalah kecepatan dan ketepatan dalam menghadapi perubahan perkembangan jaman. Termasuk didalamnya menghadapi persaingan pasar.  

Ketika kita berbicara tentang Web maka hendaknya kita pahami bahwa Web adalah sarana publikasi dan informasi kepada publik berkaitan dengan kegiatan sebuah kampus. Dan dalam perkembangannya Web tidak hanya bersifat informatif tapi juga transaksional dimana salah satunya bisa dihubungkan (dilinkkan) dengan SISTER ristekdikti. Sehingga dapat memfasilitasi kebutuhan para dosen dalam pengurusan jabatan fungsional. Dan sebisa mungkin pengadaan dan pengelolaan Web dilakukan oleh sebuah unit khusus yang sering kita sebut dengan UPT TIK (Unit Pelaksana Teknis Teknologi, Informasi, dan Komunikasi). Atau ada yang menggunakan istilah BPTIK (Badan Pengelola Teknologi, Informasi, dan Komunikasi). Sehingga poinnya adalah pengelolaan TIK harusnya tidak dilakukan perorangan tetapi harus dilakukan oleh sebuah unit khusus, yang didalamnya terdiri atas orang-orang yang kompeten dibidang IT, Humas, dan Komunikasi Publik. Dalam perkembangannya UPT TIK akan melakukan berbagai perencanaan program, implementasi, dan evaluasi terhadap pengelolaan TIK dalam satu tahun anggaran. Lebih jauh UPT TIK dapat menyusun Renstra dan Roadmap dalam rangka pengembangan TIK jangka panjang. Hal konkrit yang meski mampu dihadirkan adalah tersedianya Bandwidth (minimal 30 MB) yang cukup untuk dapat dimanfaatkan oleh seluruh civitas akademika (dosen, mahasiswa, dan tendik).       

Jika infrastruktur TIK sudah terbangun dan tersedia dengan baik, maka pengembangan dalam pengelolaan Jurnal- Sinta-Jafung akan mengikutinya. Karena ketiga hal ini membutuhkan domain dan konektivitas internet yang baik dan stabil. Termasuk nanti yang mengikuti adalah terbangunnya siakad (sistem informasi akademik)

Jurnal
Ketika saya diajak  berbicara tentang jurnal, ini membuat saya merasa tersendir dan tersenyum,  karena ternyata kita harus bisa memposisikan diri dalam 2 posisi yang berbeda. Satu sebagai penulis dan satu sebagai pengelola. Hal yang lebih sulit adalah ketika kita sebagai dosen ingin produktif untuk menulis jurnal tetapi sekaligus berkewajiban untuk mengelola jurnal, maka disitulah “adrenalin” kita akan terpacu dengan deras. Karena setiap saat harus berpikir keras bagaimana menghadirkan tulisan artikel yang baik dalam jurnal yang bukan “jurnal abal-abal”. Yang harus kita ketahui saat ini bahwa jurnal itu dituntut tidak hanya dipublikasikan dalam bentuk cetak (print) tapi meski bisa disajikan secara online melalui link (url) yang terkoneksi dengan sistem Garuda dan sistem Arjuna Ristekdikti. Sehingga jurnal yang sudah memiliki p-issn (cetak) harusnya juga memiliki e-issn (online). Dan sekali lagi pengelolaan jurnal ini semestinya adalah subdomain (bagian) dari web universitas. Dan tidak boleh terpisah-pisah. Apalagi masing-masing fakultas memiliki domain masing-masing yang tidak terintegrasi dengan domain universitas.

Meski disadari bahwa untuk mengelola jurnal yang baik membutuhkan passion dari seorang dosen. Karena disini relatif tidak ada keuntungan secara material didapatkan. Tetapi kalau bisa sabar dan ulet dalam mengelola jurnal kekayaan intelektual itu akan berlimpah untuk didapatkan. Untuk itu perlu adanya personil dari dosen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jurnal baik di tingkat fakultas maupun universitas.

Dan perlu diketahui bersama bahwa kedepan yang namanya Skripsi, Tesis, dan Disertasi bukanlah yang utama. Yang utama kedepan adalah publikasi ilmiah kepada jurnal bereputasi yang terindeks baik Scopus, Thomson, WoS, dan lain-lain. Inilah yang sedang menjadi perhatian utama Kemenristekdikti.

Jafung
Jabatan fungsional adalah indikator karir seorang dosen mulai dari tingkat asisten ahli sampai dengan Guru Besar / Profesor. Dimana untuk meraih itu harus melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan publikasi ilmiah, pengabdian masyarakat serta kegiatan penunjang lainnya. Sehingga tugas dosen itu tidak melulu mengajar tapi juga harus bisa meneliti, mempublikasi, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat luas.
Setelah saya melakukan sedikit diskusi melalui berbagai kanal informasi yang ada, sampai pada satu kesimpulan bahwa pengurusan jabatan fungsional itu tidak tergantung pada keberadaan Web dan SISTER. Pengajuannya bisa dilakukan secara manual kepada pihak universitas dan LLDIKTI. Sehingga ketika ada “jalan buntu” terkait pengajuan Jafung ini mungkin perlu dilakukan cek dan ricek kepada pihak-pihak yang mengurus, apakah harus tersedia Web dan SISTER terlebih dahulu atau tidak. Dan meski dicarikan alternatif solusinya.  

Meski dikawal
Upaya-upaya untuk membangun sistem TIK yang baik dalam sebuah universitas dibutuhkan good will dan political will dari unsur pimpinan. Karena hal ini adalah bagian dari kebutuhan strategis pengembangan universitas. Upaya pengadaan Web Universitas, Web Fakultas, SIAKAD, SIMPEG, dan lain-lain yang berbasis pada domain universitas meski dilakukan perencanaan yang baik. Dan yang terpenting didukung oleh anggaran yang memadai. Kerjasama dengan rekanan atau pihak provider meski diikat dalam perjanjian kontrak yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga ketika terjadi wanprestasi maka masing-masing pihak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut apa yang menjadi haknya.

Dan sekali lagi perlu dikawal progress-nya: day by day, week by week, dan month by month

Staf Ahli Rektor yang milenial
Inisiatif rektor untuk mengajak dan merekrut para dosen muda sebagai advisor kepada rektor meski disambut dengan gegap gempita. Hal ini adalah bentuk intervensi rektor dalam mendorong keterbukaan dan peningkatan kualitas pengelolaan universitas yang lebih baik lagi, sekaligus sebagai  bentuk “Open Management” dalam pengelolaan universitas. Namun demikian keberadaan mereka hendaknya mendapatkan legalitas formal yang jelas, misalnya diwadahi sebagai unit “Staf Ahli Rektor” yang dibagi menjadi beberapa bidang sesuai dengan kebutuhan rektor dalam mewujudkan dan mengakselerasi visi dan misi rektor. Secara konkrit Staf Ahli Rektor dapat melakukan diskusi-diskusi rutin mingguan atau bulanan dalam rangka mencari terobosan atas persoalan-persoalan internal yang dihadapi oleh universitas. Hasil diskusi-diskusi tersebut menjadi bahan pertimbangan rektor secara objektif dalam mengambil sebuah keputusan.  

Saya paham bahwa kita semua memiliki prioritas dalam aktivitas sebagai dosen. Terlebih lagi sebagian dari kita masih memiliki tugas dan profesi diluar sebagai dosen. Sehingga memang harus diakui bahwa kebutuhan SDM yang bisa bekerja secara penuh, fokus, dan all out cukup sulit untuk ditemukan. Namun demikian setidaknya kita bisa menjadi trigger (faktor  pendorong) yang positif bagi pengembangan universitas. Dan bukan menjadi barrier (faktor penghambat) yang negatif bagi pengembangan universitas.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat untuk bergerak dan berubah ke arah yang lebih baik. Terakhir meski kita sadari bahwa perubahan itu pasti terjadi, pilihannya adalah perubahan yang cepat ataukah perubahan yang lambat. Itu sangat bergantung kepada kita semua.

Salam damai dan kekeluargaan.... (pinjam ‘istilah’ bu Setyaasih)

Salam luar biasa!!!....Sinergi!!!......Jaya!!!