Selasa, 28 Januari 2020

TANTANGAN KEBIJAKAN KAMPUS MERDEKA BELAJAR PADA PERGURUAN TINGGI DI KALIMANTAN TENGAH


Beberapa waktu yang lalu tepatnya Jumat, 24 Januari 2020 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan 4 Kebijakan Kampus Merdeka yang meliputi; 1).  Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi, 2). Hak belajar 3 semester di luar program studi, 3). Pembukaan program studi baru , 4) Kemudahan menjadi PTN-BH. Bagi saya yang masih menyandang status mahasiswa, kebijakan ini sungguh luar biasa. Bahkan mungkin kebijakan ini sangatlah imajinatif dan revolusioner. Kenapa saya bilang imajinatif? Karena saya yakin sebelumnya tidak ada yang berani mewacanakan atau bahkan menjadi bahan diskursus dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita. Sebagai contoh soal akreditasi atau reakreditasi yang mana aturan ini rasanya mustahil dibuat sebagai kesukarelaan program studi untuk mengajukan akreditasi atau reakreditasi. Selama ini akreditasi atau reakreditasi menjadi beban yang cukup berat bagi pengelola program studi dalam rangka menjaga reputasinya. Tapi kebijakan ini seakan menjadikan akreditasi atau reakreditasi oleh BAN-PT bukanlah satu-satunya indikator kualitas pendidikan program studi. Bahkan pengajuannya pun sesuai kebutuhan program studi, tidak dipaksakan oleh kementerian. Contoh berikutnya mengenai Hak belajar 3 semester diluar kampus. Kebijakan ini sebenarnya telah dilaksanakan oleh beberapa program studi dengan program dengan KKN/Magang/PKL. Cuman yang menjadi agak ekstrim adalah waktunya yang biasanya hanya dilaksanakan paling lama 3 bulan dan setara dengan 4 sks, ini akan dilakukan selama 3 semester dan setara dengan 40 sks. Terkecuali untuk program studi ilmu kesehatan. Ini yang saya maksud dengan kebijakan yang revolusioner, karena pastinya kedepan pengelola program studi akan sibuk untuk melakukan persiapan dengan merevisi kurikulum, menyusun format magang, melakukan kerjasama dengan berbagai pihak swasta maupun pemerintah sebagai tempat tujuan magang. Bisa jadi pengelola program studi akan sangat disibukkan oleh kebijakan baru ini. Meski terbersit dalam pikiran saya bahwa kerepotan itu akan muncul didepan saja pada tahap persiapan menyiapkan semua platform untuk mendukung kebijakan kampus merdeka belajar. Saya juga menyimpan keyakinan dan optimisme bahwa ini adalah upaya kita untuk lebih mendekatkan perguruan tinggi pada pasar dunia kerja riel yang mewujudkan link and match antara perguruan tinggi dengan pasar dunia kerja. Nah, bagaimana dengan perguruan tinggi di Kalimantan Tengah apakah sudah siap untuk menindaklanjuti kebijakan ini?. Tentu jawabannya tidak hanya sekedar “siap” tapi mesti diikuti dengan ide-ide cemerlang yang mampu merealisasikan kebijakan ini.

Perubahan Mindset
Sudah saatnya untuk merubah mindset dimana selalu berdebat perihal linieritas disiplin ilmu. Suka atau tidak suka kita mesti terbuka bahwa perkembangan ilmu saat ini begitu pesat. Problematika kehidupan kita semakin kompleks, baik bidang sosial maupun eksakta. Tidak satupun pekerjaan atau profesi itu hanya cukup dilatarbelakangi oleh satu bidang ilmu saja. Bolehlah satu bidang ilmu menjadi satu landasan utama, tapi perlu juga didukung oleh bidang-bidang ilmu lain agar seseorang itu memiliki profesionalisme yang tangguh. Sehingga pendekatan multidisiplin inilah yang menjadi modal kita untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Kalimantan Tengah.


Kolaborasi Antar Perguruan Tinggi
Kebijakan ini tidak akan mampu dieksekusi oleh satu pihak saja, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dari multistakeholder. Perguruan tinggi, pemerintah daerah, swasta, NGO, komunitas, dan masyarakat. Sehingga semua elemen mesti membuka ruang untuk dijadikan sebagai sarana pembelajaran pendidikan tinggi. Kolaborasi antar perguruan tinggi di Kalimantan Tengah yang dilakukan melalui kerjasama antar program studi saya pikir bisa menjadi titik tolak kebijakan ini. Bagaimana caranya agar mahasiswa dapat bertukar tempat belajar yang diminati dalam rangka melengkapi kompetensinya di bidang studinya. Gagasan ini meski mulai dipikirkan dan disusun teknis pembelajarannya. Meski itu tidak mudah karena harus menyesuaikan kurikulum dan panduan akademik masing perguruan tinggi dan program studi.   

Perbanyak MOU
Hal tercepat dalam rangka menyambut kebijakan ini adalah melakukan banyak kesepakatan kerjasama (MOU) dengan berbagai pihak khususnya dengan para stakeholder yang potensial sebagai user lulusan perguruan tinggi agar mewadahi dan memfasilitasi kegiatan KKN/Magang/PKL. MOU dengan dunia usaha seperti: perusahan perkebunan sawit, perusahan jasa konstruksi, perbankan, BUMN, BUMD dan lain sebagainya. Dan juga kerjasama dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di Kalimantan Tengah serta beberapa NGO bereputasi di Kalimantan Tengah. Tidak menutup kemungkinan kerjasama itu juga bisa dilakukan dengan pemerintah pusat seperti kementerian dan perusahaan nasional sehingga KKN/Magang/PKL tidak hanya dilakukan di wilayah Kalimantan Tengah saja, bisa juga dilakukan di provinsi lain dan bahkan diluar negeri.

Jangan Menunggu, Perubahan Itu Nyata Adanya
Perlu adanya policy brief untuk mendorong dan memperkuat kebijakan ini agar segera terlaksana. Secara regulasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan terkait juga mesti disiapkan agar para pelaksana di tingkat perguruan tinggi memiliki landasan yang kuat dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Jangan sampai kebijakan ini hanya sebatas good will, tapi tidak diikuti oleh political will yang kuat. Yang muncul nanti hanya sekedar angan-angan belaka. Kebijakan yang imajinatif dan revolusioner ini meski dikawal oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena setiap perguruan tinggi memiliki karakateristik dan keterbatasannya masing-masing dalam menyesuaikan perubahan kebijakan.