Minggu, 31 Juli 2022

HANTU SCOPUS YANG SELALU HADIR DI TENGAH-TENGAH KITA

Kemarin tepat Hari Kamis 28 Juli 2022 saya diundang oleh Dekan fakultas kami untuk ikut menghadiri sosialisasi bakal calon rektor 2022 yang terdiri atas 14 orang. Ini hal yang sangat menakjubkan bagi kami yang mungkin bisa dibilang masih minim pengalaman dan pengetahuan dalam kancah kontestasi pemilihan rektor. Saya sempat berbisik kepada salah satu dosen junior di kampus kami. Sebenarnya mereka ini mencalonkan diri karena diminta, dihimbau, atau diinstruksikan ya? Kok bisa sebanyak ini? Saya sempat berpikir apakah mereka ini tidak bisa mengukur satu sama lain kapasitas dirinya masing-masing terlebih faktor politik kampus juga mestinya menjadi pertimbangan. Akan tetapi terbersit pikiran lain dari saya, bisa jadi ini memang sengaja dibuka ruang seluas-luasnya bagi siapa saja yang memenuhi syarat administratif untuk bisa mendaftarkan diri. Sebagai sebuah “legacy” dari Rektor terdahulu yang pada intinya ingin menyampaikan pesan bahwa kampus ini terbuka bagi siapa saja yang memiliki kompetensi yang mumpuni untuk menjadi seorang Rektor.

            Pada paparan visi dan misi saya sempat mendapat informasi yang sangat berarti bahwa fakultas kami ketika diteropong publikasinya yakni scopus ternyata hanya ada 5 artikel dan berasal hanya dari 1 program studi saja. Ini menjadi catatan terdiri bagi saya, terlebih di program studi saya masih belum satupun ada. Ini juga berarti bahwa beberapa doktor terdahulu dari saya ternyata publikasinya masih belum sampai scopus juga. Lebih dari itu yang menjadi sorotan saya adalah dari ke-14 bakal calon rektor tersebut belum ada yang menawarkan satu kebijakan afirmatif sebagai upaya untuk meningkatkan publikasi ilmiah bereputasi di kampus saya. Bisa jadi isu ini mungkin sudah dianggap cukup dicover oleh kebijakan rektor terdahulu yang memberikan reward bagi publikasi ilmiah internasional bereputasi di lingkungan kampus kami, reward itu berupa dana pembinaan yang biasanya dicairkan di akhir tahun. Namun saya menduga seluruh calon tersebut tidak mengetahui secara pasti apa tantangan yang dihadapi oleh para dosen doktor maupun yang belum doktor untuk melakukan publikasi ilmiah terindeks scopus. Yakni “dana yang cukup”. “Skill academic writing” yang cukup. Belum muncul program stimulus bagi para dosen yang menarik untuk diikuti yang ditawarkan oleh para bakal calon rektor. Saya yakin jika para dosen yang non doktor ini hanya mengandalkan postur pendapatan yang ada (gaji, tunjangan fungsional, tunjangan serdos) saja, maka tidak akan mampu meraih scopus. Betul memang scopus ada yang free of charge (gratis) tapi pastinya lebih selektif dan membutuhkan skill academic writing yang tinggi.

            Jadi,….ini bakalan tetap sulit untuk meningkatkan IKU 5 dari para dosen, terlebih dari para dosen yang non doktor yang notabene belum banyak memiliki jaringan kerja menulis di perguruan tinggi lain. Perlu kebijakan yang lebih menarik diluar insentif atau reward di akhir tahun. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya agar minat para dosen itu lebih meningkat dari tahun tahun? Bagaimana caranya agar para dosen yang doktor maupun yang belum doktor itu tidak hanya mencari penghasilan tambahan diluar kampus? Bagaimana caranya agar kampus itu mampu memfasilitasi sarana dan prasarana agar para dosen itu lebih betah di kampus untuk menulis? Bagaimana caranya agar kampus itu mampu berlangganan publisher-publisher besar sebagai sumber referensi utama dalam menulis artikel ilmiah yang berkualitas?

            Saya yakin pertanyaan ini jika diajukan kepada para bakal calon rektor, maka mereka akan mengembalikan pertanyaan-pertanyaan itu kepada saya untuk dijawab. Menjadi “bumerang” bagi saya nantinya. Tapi itulah fakta yang ada jangankan mikirin scopus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga saja bisa jadi sudah pas-pasan. Terus kapan IKU 5-nya bisa meningkat??? Lagi-lagi “hantu scopus” akan mengintai kita semua para dosen.

Sabtu, 02 Juli 2022

PECAH TELOR SCOPUS ITU NIKMATNYA SEPERTI PENGANTIN BARU

 

Rabu, 29 Juni 2022, pukul 4.32 sore, saya mendapat email dari jpukm@ukm.edu.my perihal Letter of Acceptance (LoA) salah satu artikel kami yang berjudul Exploring Coopetition in the Lowest Level of Bureaucracy: Competition and Cooperation in Indonesian Village Indexes. Artikel ini kami susun berdasarkan skema Penelitian Hibah Lektor Kepala Universitas Brawijaya Tahun Anggaran 2019. Ketika itu penelitian ini kami laksanakan sekitar pertengahan tahun 2019 berbarengan dengan penelitian disertasi saya di Kabupaten Ngawi. Jadi ceritanya waktu itu “ngiras-ngirus”, “sambil menyelam minum air”. Sambil penelitian disertasi, sambil juga penelitian hibah. Tim kami terdiri atas dosen co-promotor saya, saya sendiri, dan salah satu mahasiswa program S2 di FIA UB. Meski mahasiswa S2 beliau ini sangat cerdas dan cekatan sangat cocok menjadi peneliti maupun dosen. Dan memang beliau salah satu staf di Laboratorium Governance FIA UB.

Pada perjalanannya untuk menulis dan menyusun artikel ilmiah ini kami sangat serius, kami lakukan diskusi beberapa kali setidaknya ada 5 kali diskusi di ruang lab. Hanya kami bertiga, dan selama diskusi banyak sekali temuan kami setidaknya kami menyadari bahwa artikel yang kami susun itu “less of data” (kami merasakan seperti itu sih), akan tetapi dapat diatasi dengan beberapa temuan yang ada pada penelitian disertasi saya.

Artikel ini beberapa kali mengalami penolakan (rejection) dari beberapa jurnal ilmiah Q2, alasan utama dari penolakan itu rata-rata karena “less of data” persis seperti yang kami rasakan pada saat akhir meeting. Namun co-promotor saya tidak menyerah, beliau berusaha untuk mengalihkan ke jurnal lain yang mungkin sesuai dengan tetap memperbaiki kekurangan yang ada, sekaligus memperbaiki tata bahasa melalui proofreading.


     Alhamdulillah, Hari Jumat, 1 Juli 2022, pukul 23.44 saya mendapat kabar dari co-promotor saya bahwa artikel tersebut telah terbit. Saya langsung sujud syukur, saya langsung WA dan telpon kedua orang tua untuk menyampaikan kabar bahagia tersebut. Saya sampaikan terima kasih atas doa restunya selama ini. Artikel ini menjadi sangat penting bagi saya karena bisa menjadi syarat untuk ujian akhir disertasi. Meski saat ini saya pun sedang proses submit untuk artikel yang lain dalam rangka memenuhi syarat tersebut. Tapi ini adalah bonus yang sangat berarti bagi saya “pecah telor scopus”. Alhamdulillah Ya Allah.

 

PELATIHAN JURNAL INTERNASIONAL UNTUK MAHASISWA, TAPI DIDAMPINGI DOSEN

 

Baru-baru ini tepatnya 16 Juni 2022, saya mendapat amanah diundang sebagai pembicara pada kegiatan Pelatihan Jurnal Internasional di Fakultas Ekonomi Universitas Mayjen Sungkono, Mojokerto. Kampus dimana istri saya mengajar, kebetulan saya berkedudukan sebagai salah satu Pembina Yayasan Pendidikan dan Sosial Mayjen Sungkono. Pelatihan dilaksanakan secara daring dengan target peserta adalah mahasiswa yang sedang menyusun proposal skripsi dan sedang menuju pada penelitian lapangan skripsi.

            Tidak sulit memang untuk mendeliver materi tentang jurnal internasional, akan tetapi saya memiliki harapan agar pelatihan ini tidak hanya sekedar penyampaian materi sebagai pengetahuan dasar saja dengan meninggalkan ketrampilan-ketrampilan dasar dalam menulis sebuah artikel ilmiah. Ketika kegiatan tersebut dimulai pada pukul 18.30 WIB jumlah peserta masih sangat sedikit  yakni sekitar 54 orang, tetapi semakin malam ternyata peserta semakin banyak hingga berjumlah sekitar 150 orang. Meski sebenarnya target peserta yang sebenarnya adalah 370 orang. Bagi saya ini adalah hal yang positif 50% mahasiswa mau hadir untuk mendengarkan ceramah saya itu jauh lebih baik ketimbang tidak hadir samasekali. Saya sadar betul besar kemungkinan materi yang sampaikan sekedar pengetahuan dasar saja, karena sebelumnya sebagian besar mahasiswa belum mendapatkan pengetahuan apalagi ketrampilan dasar menulis artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional selama menempuh perkuliahan. Hal lain yang membuat saya juga harus menyesuaikan adalah hadirnya beberapa dosen setidaknya ada 4 orang dosen yang mungkin sedikit banyak memiliki pengetahuan dasar tentang jurnal internasional. Inilah tantangannya……menyampaikan materi yang harus dipahami oleh mahasiswa sekaligus dosen pendamping.

            Saya merasa kegiatan semacam ini patut diapresiasi agar terus berkelanjutan dilaksanakan, tidak harus dengan saya sebagai pembicara. Bisa diambil pembicara darimana saja yang bagus-bagus yang memiliki trackrecord publikasi internasional yang banyak dan berkualitas.

            Ada satu hal yang saya tekankan kepada mahasiswa ketika itu yakni agar melakukan penelitian skripsi dengan sebaik-baiknya, jangan fiktif dan rekayasa. Pastikan data di lapangan didapatkan dengan sebenar-benarnya agar penelitian skripsi mahasiswa yang hasilnya baik bisa berpeluang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi. Karena selama ini saya tahu banyak sekali mahasiswa yang mengerjakan skripsinya asal-asalan tidak serius bahkan diduga “FIKTIF” hanya dikerjakan di belakang meja. Untuk itu saya menghimbau kepada mereka untuk bisa menunjukkan data mentah hasil penelitian, setidaknya tabel distribusi frekuensi, karena sebagian besar dari mereka melakukan penelitian kuantitatif dengan teknik pengumpulan sebar kuisioner secara online maupun offline. Tentu ini membutuhkan dukungan dari para dosen pembimbing agar mampu membimbing mahasiswanya dengan baik tidak sekedar acc, setuju saja dengan pertimbangan belas kasihan atau permakluman karena sebagian besar mahasiswa adalah “kuliah sambil kerja”.

            Ini perlu perhatian dan treatment tersendiri untuk menghadapi kondisi seperti ini, satu sisi dosen menginginkan hasil yang baik agar layak dipublikasi di jurnal internasional. Tapi di sisi lain mahasiswa memiliki keterbatasan dalam hal waktu untuk meneliti. Nah, kondisi seperti ini juga seringkali menimbulkan spekulasi “kapan waktunya mahasiswa meneliti?”, kalau tidak ada waktu untuk meneliti. Spekulasi yang lain “kapan mahasiswa menulis?”, kalau tidak ada waktu untuk menulis. Inilah fenomena ironis yang dihadapi oleh beberapa perguruan tinggi yang sebagian besar mahasiswanya adalah “kuliah sambil kerja”. Efek domino dari kondisi ini tentu muncul peran pihak-pihak lain yang memberikan jasa penulisan skripsi.

            Untuk itu saya menyarankan agar penulisan skripsi itu tidak  sekedar untuk mengugurkan kewajiban administrasi akademik saja, tapi harus memberikan manfaat “impact factor” yang lebih besar dan luas bagi dosen pembimbing dan institusi, sudah saatnya agar kewajiban untuk publikasi di jurnal nasional maupun internasional itu menjadi wajib hukumnya bagi mahasiswa sebagai syarat kelulusan. Harapannya di akhir studi itu yang “panen” itu tidak hanya pihak-pihak lain yang memberi jasa penulisan skripsi, akan tetapi dosen dan institusi juga “panen” karena banyak output/luaran dari skripsi itu. Ini sangat membantu institusi dalam rangka meraih kinerja utama khususnya “IKU 5”. Mungkin itu yang bisa menjadi bahan pemikiran saya untuk dapat kita pertimbangkan bersama. Sampai ketemu lagi di pelatihan berikutnya……