Sabtu, 12 Januari 2019

DAYA MAGIS KESENIAN ‘Bantengan’ dan NANO EKONOMI


Selama saya tinggal di Dusun Dadaptulis Dalam, Kelurahan Dadaprejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu banyak sudah yang saya posting berkaitan dengan kegiatan sosial ekonomi masyarakat disini diantaranya ada peringatan 17-an di bulan Agustus, Kesenian Ketoprak, lomba mancing tiap malam Kamis dan malam Sabtu, Festival Serabi Dadaptulis, dan kali ini saya baru sempat posting tentang Kesenian “Bantengan” dan Pasar Kaget. Sebenarnya dua kegiatan ini bukan hanya sekali berlangsung di tempat tinggal kami, tapi sudah menjadi agenda rutin tiap bulan Februari dalam rangka acara ‘Bersih Desa’. Sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Dusun Dadaptulis Dalam atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang selama ini telah dinikmati bersama. Dan sebagian juga masih memiliki keyakinan dengan menggelar kegiatan Kesenian “Bantengan” ini berarti secara magis telah menolak “balak” atau musibah. Harapannya masyarakat Dusun Dadaptulis Dalam selalu terhindar dari berbagai musibah, khususnya musibah bencana alam. Kesenian “Bantengan” ini menyajikan berbagai atraksi tari-tarian dan kuda lumping sebagaimana kita pernah melihat di berbagai tempat terutama di Jawa Timur. Atraksi yang berlangsung cukup lama mulai Pukul 20.00 hingga pukul 24.00 ini dimeriahkan dengan adegan yang seram yakni “adegan makan beling” dan “adegan sembur api”. 

Sebagai generasi tahun 80-an saya sendiri kurang paham kesenian ini berasal dari mana? Yang jelas selama saya tinggal disini sangat sering sekali masyarakat “nanggap” mengundang mereka untuk tampil memeriahkan acara. Kali ini kegiatan ini digelar dalam rangka ‘hajatan sunat (khitanan)’ salah putra warga Dusun Dadaptulis Dalam, setelah sebelumnya digelar acara syukuran 2 hari 2 malam. Karena kebetulan saya sarjana ekonomi, maka ketertarikan saya bukanlah pada Kesenian ‘Bantengan’-nya, akan tetapi kepada kegiatan yang mengikutinya yakni ‘Pasar Kaget’. Sebagian dari kita masyarakat Indonesia juga menyebutnya dengan ‘Pasar Tungging’. Disebut dengan Pasar Kaget karena munculnya tiba-tiba dan bisa digelar dimana saja. Disebut dengan Pasar Tungging karena sebagian besar lapaknya digelar dengan terpal sehingga para calon pembeli harus memilih barang dagangannya dengan cara menungging. 

Yang menjadi istimewa bagi saya Pasar Kaget dan Pasar Tungging ini ternyata masih ada sejak saya kecil dulu. Bahkan kegiatan yang digelar kebetulan pas didepan rumah kami ini mengingatkan saya ketika saya berada di Palangka Raya bahkan juga ketika saya melakukan kunjungan di pelosok pedalam Kalimantan Tengah sering menemukan Pasar Kaget atau Pasar Tungging. Bedanya kalau di Palangka Raya biasanya pasar tersebut digelar pada Kamis Malam atau Malam Jumat. Nah ini juga menjadi tradisi dan sebagian kepercayaan masyarakat bahwa di hari itu pasar akan ramai dikunjungi oleh pembeli. Ternyata peradaban boleh berubah, jaman boleh berubah, perilaku konsumsi masyarakat boleh berubah. Tetapi sebenarnya tradisi, kesenian, dan perekonomian memiliki ‘daya magis’ untuk mampu bertahan di tengah gempuran modernisasi perekonomian. Sepanjang tiga hal ini mampu beriringan didalam menjaga keberlangsungan hidupnya ditengah ancaman perubahan jaman yang menggerus perekonomian rakyat. 

Daya magis itu muncul ketika pelaku kesenian mampu berkolaborasi dengan pelaku ekonomi. Ketika kesenian ‘Bantengan’ digelar, maka disitu juga diikuti oleh Pasar Kaget. Jika kita perhatikan para pelaku ekonomi, pedagang Pasar Kaget ini termasuk dalam ‘skala mikro ekonomi’ bahkan bisa jadi saya menyebutnya ‘skala nano ekonomi’. Namun karena pergerakan perekonominya dijalankan secara kekeluargaan melalui koordinasi paguyuban maka mereka dapat terus beriringan dan berdampingan dalam menyemarakkan Pasar Kaget. Prinsip yang mereka pegang saya pikir adalah “dimana ada gula di situ semut”, dimana ada keramaian/hiburan maka disitu semut-semut akan berkumpul untuk mencari makan. Maka bertemu-lah kepentingan penjual dan pembeli, supply and demand, sebagai bentuk ‘market equilibrium’. Saya jadi teringat ada satu mahasiswa saya yang dulu meneliti tentang keberadaan Pasar Kaget dan Perekonomian Rakyat di Palangka Raya. Jadi semakin saya pahami bahwa masyarakat Indonesia yang berbeda-beda ini, tetap saja ada persamaannya dan selalu bisa dipersatukan dalam kegiatan sosial dan ekonomi.

Kota Wisata Batu memang luar biasa, tidak hanya keindahan alamnya, tapi tradisi dan geliat perekonomian rakyatnya juga bergerak dinamis. Suatu pelajaran berharga buat kita semua. Selamat berakhir pekan.....Happy Weekend,....Jangan Lupa Bahagia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda