PLAGIARISME DALAM KARYA TULIS ILMIAH: Tanggungjawab Dosen Atau Mahasiswa?
PLAGIARISME
DALAM KARYA TULIS ILMIAH:
Tanggungjawab
Dosen Atau Mahasiswa?
Oleh:
Mochamad Doddy Syahirul Alam
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi FIA-UB 2016
Kemenristekdikti kembali menunjukkan kinerja yang
progresif, setelah minggu lalu mengumumkan rankingisasi perguruan tinggi di
Indonesia yang membuat terang benerang kinerja PTN dan PTS saat ini, launching program “SINTA” versi 2, peresmian
program 7 in 1 pembangunan infrastruktur kampus di beberapa PTN di pulau
Kalimantan (minus Kalteng),saat ini mempublikasikan adanya dugaan/indikasi
“Plagiarisme” atas disertasi program doktor di sebuah PTN di Jakarta. Secara
kuantitatif jumlahnya (disertasi) sangatlah besar “ribuan” dan berlangsung
sejak 2004 hingga 2016. Informasi ini dikutip dari sebuah media online nasional
(tirto.id).
Isu ini menjadi diskursus/perdebatan yang sangat menarik
di berbagai grup media social baik grupnya dosen maupun grupnya mahasiswa. Ada
yang menyangkal, ada mengiyakan, ada yang menyalahkan satu pihak dan ada juga
yang memberikan solusi praktis namun diragukan juga reliabilitas-nya. Tapi tidak banyak yang memberikan solusi logis
dan sistematis, karena isu ini tentu tidak bisa diselesaikan sekejap.
Tanpa
ingin menyudutkan PTN tersebut dan mengarahkan kepada persoalan yang lain seperti
adanya dugaan transaksi, maladministrasi, dan berbagai tindak korupsi beserta
turunannya, penulis hanya ingin fokus kepada plagiarism. Meskipun diakui persepsi dan dugaan itu sangatlah mudah berkembang di
masyarakat. Tulisan ini ditujukan hanya untuk memberikan literasi dan edukasi
secara lebih jelas dan proporsional. Sehingga tidak mudah untuk saling
menyalahkan satu pihak saja. Secara kebetulan saat ini penulis berstatus
mahasiswa yang sedang menyusun disertasi.
Berbicara tentang plagiarisme ibarat berbicara isu atau gosip
yang “digosok makin sip”. Rasanya mungkin “ngeri-ngeri sedap”. Mengapa
demikian? Karena bagi dosen, mungkin isu ini sangatlah mudah sebagai “alat yang
efektif” bagi satu dosen untuk “menyerang/menjatuhkan” dosen lainnnya ketika
momentum itu sangatlah mendukung untuk berbagai kepentingan. Sebagaimana
diketahui bahwa “PTN” di Jakarta tersebut saat ini sedang dalam proses
pemilihan Rektor. Bagi mahasiswa, isu ini sangatlah “seksi” untuk memanfaatkan
kelemahan dosen dalam menelaah atau mereview karya tulis mahasiswa (skripsi,
tesis, disertasi). Mahasiswa seringkali memanfaatkan kesibukan dosen untuk
meraih persetujuan atau acc dari dosen. Yang seharusnya mahasiswa datang untuk
konsultasi secara periodik seminggu atau dua minggu sekali, ini mahasiswa
datang menjelang yudisium dan wisuda. Kemudian mahasiswa menyampaikan berbagai
alasan non akademik kepada dosen pembimbing, dengan harapan tersentuh sisi
kemanusian dosen tersebut. Disinilah “konfilik batin” itu mulai berkecamuk di
hati para dosen. Ada yang luluh langsung acc, ada juga yang mengulur-ulur waktu
tapi nggak pernah dibaca atau dibaca hanya beberapa lembar saja. Tapi yang
banyak langsung “luluh hatinya”. Tindakan dosen ini tidak hanya atas alasan
kemanusiaan saja, tetapi juga dengan mempertimbangkan produktifitas jumlah
lulusan dari prodi tempatnya bernaung, logis juga alasannya.
Persoalan lain yang muncul di PTN tersebut adalah jumlah
mahasiswa yang dibimbing sangatlah banyak “ratusan”. Ada satu guru besar yang
membimbing mahasiswa program doctor hingga 327 orang mahasiswa. Itu baru
program doctor, belum program magister, dan program sarjana. Bisa terbayang
bagaimana beban kerja dosen/guru besar tersebut. Sudah pasti rasio kecukupan
(dosen:mahasiswa) ‘tidak ideal‘. Jika itu dilakukan audit kinerja atas proses
pembimbingan akan ketemu bagaimana ‘kualitas” pembimbingannya. Pastilah ‘tidak
efektif’.
Isu plagiarisme ini tentu sudah lama ada. System
pendidikan tinggi di Indonesia belum mampu secara efektif menekan praktik
plagiarism ini. Jika ditelusuri lebih jauh masih banyak PTN dan PTS didaerah
yang cenderung membiarkan praktik plagiarism ini terjadi. Kebanyakan dari
mereka tidak mengetahui secara jelas dan praktis bagaimana cara mencegah plagiarism.
Isu ini muncul karena Kemenristekdikti saat ini jauh lebih concern terhadap
bagaimana mengintegrasikan publikasi dan karya tulis ilmiah dalam sebuah system
informasi. Dulu ada System Garuda (Garba Rujukan Digital), sekarang ada SINTA
(Science and Technology Index). Dari system informasi ini diharapkan para
akademisi dosen dan mahasiswa dapat merujuk berbagai karya tulis ilmiah yang
berkualitas yang tentu tingkat plagiarism-nya rendah. Namun sayang masih belum
banyak yang memanfaatkan. Dengan semakin terintegrasinya berbagai karya tulis
ilmiah di Indonesia, maka akan semakin mudah untuk mendeteksi adanya
plagiarism.
Penulis memandang bahwa praktik plagiarism ini perlu
menjadi tanggung jawab bersama antara mahasiswa, dosen, dan yang terpenting
adalah dukungan institusi dalam menegakkan kebenaran ilmiah melalui penyediaan
sarana dan prasarana untuk mencegah plagiarism.
Memahami
Plagiarisme
Sebelum kita menunjuk siapa yang bersalah atas plagiarism
dosen atau mahasiswa, maka sebaiknya kita lebih memahami tentang apa itu plagiarism.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Khairurrijal (2016) Plagiarism adalah praktek mengambil pekerjaan atau ide orang
lain tanpa menyebutkan penulis awalnya dan mengakui pekerjaan atau ide tersebut
sebagai miliknya (oxford); tindakan menggunakan kalimat atau ide orang lain
tanpa memberikan kontribusi (citasi) bagi orang tersebut (Merriam-webster); penggunaan
ide, proses, dan hasil milik orang lain tanpa secara langsung menyebutkan
penulis awalnya dan asal sumbernya (ieee).
Plagiarisme itu memiliki ragam diantaranya adalah: 1)
Plagiarisme kata demi kata; 2) plagiarism mozaik (mengambil sepotong dari
sumber, mengubah sedikit kata sana-sini); 3) paraphrase tak memadai (mengubah
sedikit kata sana-sini dan membiarkan sisanya); 4) paraphrase tak dicitasi
(melakukan paraphrase namun tak dicitasi); 5) kutipan tak dicitasi melakukan
kutipan namun tak dicitasi).
Tanggungjawab
Mahasiswa
Sebenarnya secara administrasi akademik mahasiswa diminta
untuk bertanggungjawab atas karya tulis ilmiah yang telah dihasilkannya. Hal
tersebut bisa dilihat di setiap skripsi, tesis, dan disertasi selalu ada lembar
“Surat Pernyataan Originalitas”. Sehingga secara sadar mahasiswa akan
menghindari terhadap plagiarism. Namun sangat disayangkan surat pernyataan ini
hanya dibubuhkan diakhir proses pembimbingan setelah dosen menyetujui karya
tulisnya untuk diajukan dalam ujian akhir. Sehingga tidak heran jika surat
pernyataan ini lebih untuk melengkapi kebutuhan administrasi akademik saja. Bukan
pada esensinya agar mahasiswa menghindari plagiarism dalam menyusun karya tulis
ilmiah. Dan itu menjadi “PR” dosen untuk menyampaikannya di awal bimbingan atau
konsultasi. Bukan di akhir masa bimbingan atau konsultasi.
Tanggungjawab
Dosen
Dosen juga “manusia” yang memiliki keterbatasan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk mampu menjalankan tugas dosen yang sebenar-benarnya,
mulai dari tugas akademik (mengajar, meneliti, mengabdi kepada masyarakat),
tugas tambahan administrasi bagi yang memiliki jabatan struktural dan ditambah
lagi tugas-tugas non akademik sebagai panitia (ad hoc) di lingkup fakultas,
universitas, asosiasi profesi, dan tentu tugas dalam rumah tangga dosen itu
sendiri. Sehingga sangat mungkin jika membaca naskah (skripsi, tesis,
disertasi) hanya sekilas saja atau pada saat menguji membacanya hanya “on the spot”.
Jadi mungkin untuk menjadi dosen yang ideal, yang
berkinerja tinggi, yang bersih, yang tidak bekerja di sana-sini, cukup sulit.
Perlu waktu lebih dari 24 jam sehari untuk memenuhi kriteria sebagai Seorang
Dosen Yang Teladan. Namun dosen yang baik tentu tidak melihat itu sebagai BKD
(Beban Kinerja Dosen), tetapi lebih sebagai “BKD (Berkah Kerja Dosen)”. Boleh
setuju, boleh juga tidak. Ini perlu penulis sampaikan agar kita tidak selalu
menyalahkan system, atasan, dan institusi kita. Berusaha untuk berpikir positif
akan jauh lebih konstruktif dan produktif. Hal ini bisa bisa dibuktikan oleh
waktu.
Tanggungjawab
Institusi
Upaya pencegahan plagiarism sebenarnya tidak terlepas
dari kapasitas institusi untuk menyediakan prasarana dan sarananya. Apa itu?
Dan bagaimana caranya? Prasarananya adalah adanya Gugus Penjamin Mutu (GPM)
yang difungsikan dengan sebenar-benarnya, tidak hanya ada SK tetapi tidak ada
aktivitas. GPM ini bisa melakukan fungsi AIM (Audit Internal Mutu) sekaligus research and development terhadap proses
akademik. Sarananya adalah tersedianya system pencegahan plagiarism berupa
aplikasi (software) yang dilanggan oleh fakultas atau universitas. Dan tentu
ada konsekuensi biaya dalam hal ini. Memang tersedia software free untuk mendeteksi plagiarism, tetapi apakah kita yakin
realibilitasnya? Penulis tidak ingin hasil karya tulis mahasiswa dan mungkin dukungan
pemikiran dosen pembimbing yang lain “dihakimi” oleh satu software yang free.
Selanjutnya bisa dibuat kajian singkat untuk menentukan software mana yang layak untuk dilanggan. Selain itu perlu
dibuatkan konsensus di tingkat fakultas dan universitas dengan mengacu
Permenristekdikti No. 62 Tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi untuk menentukan maksimal seberapa besar prosentase (%) identik plagiarism
yang ditolerir.
Dengan adanya kebutuhan biaya, maka sebenarnya PTS-lah
yang lebih mudah dan lebih cepat untuk membangun sebuah system pencegahan
plagiarism sebagai sub system penjaminan mutu. PTN cenderung sulit untuk
menempatkan kebutuhan itu pada akun anggaran yang mana. Dan penulis pikir para
KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) dan operator lebih memahaminya. Tapi bukan
berarti impossible, hal ini possible
asalkan direncanakan dengan baik dan diajukan pada tahun anggaran mendatang.
Kiat
Pencegahannya
Ada beberapa kiat pencegahan plagiarism yang bisa
dilakukan oleh mahasiswa dan dosen secara mandiri. Pertama, dosen berkenan untuk sabar dan telaten di kampus membimbing mahasiswa dengan membaca dan
memahami buku panduan penulisan (skripsi, tesis, dan disertasi) untuk
mengetahui cara mengutip atau mencitasi yang benar sesuai kaidah penulisan
karya ilmiah. Kedua, melakukan
prosedur pengutipan yang benar dengan cara: a) perhatikan poin penting dalam
kata-kata dan cantumkan citasinya; b) buat dalam kata-kata anda sendiri dan
cantumkan citasinya; c) tahu cara melakukan paraphrase; d) evaluasi pustaka
anda. Ketiga, dosen dan
mahasiswa harus mampu menggunakan aplikasi/software
dalam mengelola daftar pustaka seperti: Zotero,
Mendeley, Refworks, dan End Note.
Untuk mencegah plagiarism dosen dan mahasiswa bisa menggunakan Grammarly, Turnitin, Ithenthicate
(berbayar).
Jika prosedur-prosedur tersebut dilakukan dengan sabar,
tekun, dan berkelanjutan maka secara perlahan dosen dan mahasiswa juga akan
terbebas dari plagiarism. Perlu waktu memang, perlu bimbingan memang, perlu
pendampingan memang, dan itu tugas dari Gugus Penjaminan Mutu (GPM). Kita perlu
GPM yang berfungsi dengan baik.ALA BISA KARENA BIASA.
Jadi bagaimana, mulai
dari dosennya dulu atau mahasiswanya dulu?
Referensi:
Khairurrijal, Prof. Dr. Eng. Khairurrijal. 2016. Plagiarisme
dalam Tulisan Ilmiah dan Kiat Pencegahannya. Seminar Ekspos Hasil Penelitian
dan Temu Jaringan LP2M PTKIN Kemenag RI, UIN Sunan Gunung Djati.
http://www.oxforddictionaries.com/.
Diakses 29 Agustus 2017.
http://www.merriam-webster.com/.
Diakses 29 Agustus 2017.
http://www.ieee.org.
diakses 29 Agustus 2017.
https://tirto.id/bau-tak-sedap-program-studi-pascasarjana-unj-cvr1.
Diakses 29 Agustus 2017.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda