Jumat, 22 September 2017

PLAGIARISME DALAM KARYA TULIS ILMIAH: Tanggungjawab Dosen Atau Mahasiswa?


PLAGIARISME DALAM KARYA TULIS ILMIAH:
Tanggungjawab Dosen Atau Mahasiswa?

Oleh:
Mochamad Doddy Syahirul Alam
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UPR
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi FIA-UB 2016


            Kemenristekdikti kembali menunjukkan kinerja yang progresif, setelah minggu lalu mengumumkan rankingisasi perguruan tinggi di Indonesia yang membuat terang benerang kinerja PTN dan PTS saat ini, launching program “SINTA” versi 2, peresmian program 7 in 1 pembangunan infrastruktur kampus di beberapa PTN di pulau Kalimantan (minus Kalteng),saat ini mempublikasikan adanya dugaan/indikasi “Plagiarisme” atas disertasi program doktor di sebuah PTN di Jakarta. Secara kuantitatif jumlahnya (disertasi) sangatlah besar “ribuan” dan berlangsung sejak 2004 hingga 2016. Informasi ini dikutip dari sebuah media online nasional (tirto.id).
            Isu ini menjadi diskursus/perdebatan yang sangat menarik di berbagai grup media social baik grupnya dosen maupun grupnya mahasiswa. Ada yang menyangkal, ada mengiyakan, ada yang menyalahkan satu pihak dan ada juga yang memberikan solusi praktis namun diragukan juga reliabilitas-nya. Tapi tidak banyak yang memberikan solusi logis dan sistematis, karena isu ini tentu tidak bisa diselesaikan sekejap.
Tanpa ingin menyudutkan PTN tersebut dan mengarahkan kepada persoalan yang lain seperti adanya dugaan transaksi, maladministrasi, dan berbagai tindak korupsi beserta turunannya, penulis hanya ingin fokus kepada plagiarism. Meskipun diakui persepsi  dan dugaan itu sangatlah mudah berkembang di masyarakat. Tulisan ini ditujukan hanya untuk memberikan literasi dan edukasi secara lebih jelas dan proporsional. Sehingga tidak mudah untuk saling menyalahkan satu pihak saja. Secara kebetulan saat ini penulis berstatus mahasiswa yang sedang menyusun disertasi.    
            Berbicara tentang plagiarisme ibarat berbicara isu atau gosip yang “digosok makin sip”. Rasanya mungkin “ngeri-ngeri sedap”. Mengapa demikian? Karena bagi dosen, mungkin isu ini sangatlah mudah sebagai “alat yang efektif” bagi satu dosen untuk “menyerang/menjatuhkan” dosen lainnnya ketika momentum itu sangatlah mendukung untuk berbagai kepentingan. Sebagaimana diketahui bahwa “PTN” di Jakarta tersebut saat ini sedang dalam proses pemilihan Rektor. Bagi mahasiswa, isu ini sangatlah “seksi” untuk memanfaatkan kelemahan dosen dalam menelaah atau mereview karya tulis mahasiswa (skripsi, tesis, disertasi). Mahasiswa seringkali memanfaatkan kesibukan dosen untuk meraih persetujuan atau acc dari dosen. Yang seharusnya mahasiswa datang untuk konsultasi secara periodik seminggu atau dua minggu sekali, ini mahasiswa datang menjelang yudisium dan wisuda. Kemudian mahasiswa menyampaikan berbagai alasan non akademik kepada dosen pembimbing, dengan harapan tersentuh sisi kemanusian dosen tersebut. Disinilah “konfilik batin” itu mulai berkecamuk di hati para dosen. Ada yang luluh langsung acc, ada juga yang mengulur-ulur waktu tapi nggak pernah dibaca atau dibaca hanya beberapa lembar saja. Tapi yang banyak langsung “luluh hatinya”. Tindakan dosen ini tidak hanya atas alasan kemanusiaan saja, tetapi juga dengan mempertimbangkan produktifitas jumlah lulusan dari prodi tempatnya bernaung, logis juga alasannya.  
            Persoalan lain yang muncul di PTN tersebut adalah jumlah mahasiswa yang dibimbing sangatlah banyak “ratusan”. Ada satu guru besar yang membimbing mahasiswa program doctor hingga 327 orang mahasiswa. Itu baru program doctor, belum program magister, dan program sarjana. Bisa terbayang bagaimana beban kerja dosen/guru besar tersebut. Sudah pasti rasio kecukupan (dosen:mahasiswa) ‘tidak ideal‘. Jika itu dilakukan audit kinerja atas proses pembimbingan akan ketemu bagaimana ‘kualitas” pembimbingannya. Pastilah ‘tidak efektif’.
            Isu plagiarisme ini tentu sudah lama ada. System pendidikan tinggi di Indonesia belum mampu secara efektif menekan praktik plagiarism ini. Jika ditelusuri lebih jauh masih banyak PTN dan PTS didaerah yang cenderung membiarkan praktik plagiarism ini terjadi. Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui secara jelas dan praktis bagaimana cara mencegah plagiarism. Isu ini muncul karena Kemenristekdikti saat ini jauh lebih concern terhadap bagaimana mengintegrasikan publikasi dan karya tulis ilmiah dalam sebuah system informasi. Dulu ada System Garuda (Garba Rujukan Digital), sekarang ada SINTA (Science and Technology Index). Dari system informasi ini diharapkan para akademisi dosen dan mahasiswa dapat merujuk berbagai karya tulis ilmiah yang berkualitas yang tentu tingkat plagiarism-nya rendah. Namun sayang masih belum banyak yang memanfaatkan. Dengan semakin terintegrasinya berbagai karya tulis ilmiah di Indonesia, maka akan semakin mudah untuk mendeteksi adanya plagiarism.
            Penulis memandang bahwa praktik plagiarism ini perlu menjadi tanggung jawab bersama antara mahasiswa, dosen, dan yang terpenting adalah dukungan institusi dalam menegakkan kebenaran ilmiah melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk mencegah plagiarism.  
             
Memahami Plagiarisme
            Sebelum kita menunjuk siapa yang bersalah atas plagiarism dosen atau mahasiswa, maka sebaiknya kita lebih memahami tentang apa itu plagiarism. Sebagaimana yang disampaikan oleh Khairurrijal (2016) Plagiarism adalah praktek mengambil pekerjaan atau ide orang lain tanpa menyebutkan penulis awalnya dan mengakui pekerjaan atau ide tersebut sebagai miliknya (oxford); tindakan menggunakan kalimat atau ide orang lain tanpa memberikan kontribusi (citasi) bagi orang tersebut (Merriam-webster); penggunaan ide, proses, dan hasil milik orang lain tanpa secara langsung menyebutkan penulis awalnya dan asal sumbernya (ieee).   
            Plagiarisme itu memiliki ragam diantaranya adalah: 1) Plagiarisme kata demi kata; 2) plagiarism mozaik (mengambil sepotong dari sumber, mengubah sedikit kata sana-sini); 3) paraphrase tak memadai (mengubah sedikit kata sana-sini dan membiarkan sisanya); 4) paraphrase tak dicitasi (melakukan paraphrase namun tak dicitasi); 5) kutipan tak dicitasi melakukan kutipan namun tak dicitasi).

Tanggungjawab Mahasiswa
            Sebenarnya secara administrasi akademik mahasiswa diminta untuk bertanggungjawab atas karya tulis ilmiah yang telah dihasilkannya. Hal tersebut bisa dilihat di setiap skripsi, tesis, dan disertasi selalu ada lembar “Surat Pernyataan Originalitas”. Sehingga secara sadar mahasiswa akan menghindari terhadap plagiarism. Namun sangat disayangkan surat pernyataan ini hanya dibubuhkan diakhir proses pembimbingan setelah dosen menyetujui karya tulisnya untuk diajukan dalam ujian akhir. Sehingga tidak heran jika surat pernyataan ini lebih untuk melengkapi kebutuhan administrasi akademik saja. Bukan pada esensinya agar mahasiswa menghindari plagiarism dalam menyusun karya tulis ilmiah. Dan itu menjadi “PR” dosen untuk menyampaikannya di awal bimbingan atau konsultasi. Bukan di akhir masa bimbingan atau konsultasi.

Tanggungjawab Dosen
            Dosen juga “manusia” yang memiliki keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mampu menjalankan tugas dosen yang sebenar-benarnya, mulai dari tugas akademik (mengajar, meneliti, mengabdi kepada masyarakat), tugas tambahan administrasi bagi yang memiliki jabatan struktural dan ditambah lagi tugas-tugas non akademik sebagai panitia (ad hoc) di lingkup fakultas, universitas, asosiasi profesi, dan tentu tugas dalam rumah tangga dosen itu sendiri. Sehingga sangat mungkin jika membaca naskah (skripsi, tesis, disertasi) hanya sekilas saja atau pada saat menguji membacanya hanya “on the spot”.
            Jadi mungkin untuk menjadi dosen yang ideal, yang berkinerja tinggi, yang bersih, yang tidak bekerja di sana-sini, cukup sulit. Perlu waktu lebih dari 24 jam sehari untuk memenuhi kriteria sebagai Seorang Dosen Yang Teladan. Namun dosen yang baik tentu tidak melihat itu sebagai BKD (Beban Kinerja Dosen), tetapi lebih sebagai “BKD (Berkah Kerja Dosen)”. Boleh setuju, boleh juga tidak. Ini perlu penulis sampaikan agar kita tidak selalu menyalahkan system, atasan, dan institusi kita. Berusaha untuk berpikir positif akan jauh lebih konstruktif dan produktif. Hal ini bisa bisa dibuktikan oleh waktu.

Tanggungjawab Institusi
            Upaya pencegahan plagiarism sebenarnya tidak terlepas dari kapasitas institusi untuk menyediakan prasarana dan sarananya. Apa itu? Dan bagaimana caranya? Prasarananya adalah adanya Gugus Penjamin Mutu (GPM) yang difungsikan dengan sebenar-benarnya, tidak hanya ada SK tetapi tidak ada aktivitas. GPM ini bisa melakukan fungsi AIM (Audit Internal Mutu) sekaligus research and development terhadap proses akademik. Sarananya adalah tersedianya system pencegahan plagiarism berupa aplikasi (software) yang dilanggan oleh fakultas atau universitas. Dan tentu ada konsekuensi biaya dalam hal ini. Memang tersedia software free untuk mendeteksi plagiarism, tetapi apakah kita yakin realibilitasnya? Penulis tidak ingin hasil karya tulis mahasiswa dan mungkin dukungan pemikiran dosen pembimbing yang lain “dihakimi” oleh satu software yang free. Selanjutnya bisa dibuat kajian singkat untuk menentukan software mana yang layak untuk dilanggan. Selain itu perlu dibuatkan konsensus di tingkat fakultas dan universitas dengan mengacu Permenristekdikti No. 62 Tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi untuk menentukan maksimal seberapa besar prosentase (%) identik plagiarism yang ditolerir.  
            Dengan adanya kebutuhan biaya, maka sebenarnya PTS-lah yang lebih mudah dan lebih cepat untuk membangun sebuah system pencegahan plagiarism sebagai sub system penjaminan mutu. PTN cenderung sulit untuk menempatkan kebutuhan itu pada akun anggaran yang mana. Dan penulis pikir para KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) dan operator lebih memahaminya. Tapi bukan berarti  impossible, hal ini possible asalkan direncanakan dengan baik dan diajukan pada tahun anggaran mendatang.  

Kiat Pencegahannya
            Ada beberapa kiat pencegahan plagiarism yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dan dosen secara mandiri. Pertama, dosen berkenan untuk sabar dan telaten di kampus membimbing mahasiswa dengan membaca dan memahami buku panduan penulisan (skripsi, tesis, dan disertasi) untuk mengetahui cara mengutip atau mencitasi yang benar sesuai kaidah penulisan karya ilmiah. Kedua, melakukan prosedur pengutipan yang benar dengan cara: a) perhatikan poin penting dalam kata-kata dan cantumkan citasinya; b) buat dalam kata-kata anda sendiri dan cantumkan citasinya; c) tahu cara melakukan paraphrase; d) evaluasi pustaka anda. Ketiga, dosen dan mahasiswa harus mampu menggunakan aplikasi/software dalam mengelola daftar pustaka seperti: Zotero, Mendeley, Refworks, dan End Note. Untuk mencegah plagiarism dosen dan mahasiswa bisa menggunakan Grammarly, Turnitin, Ithenthicate (berbayar).      
            Jika prosedur-prosedur tersebut dilakukan dengan sabar, tekun, dan berkelanjutan maka secara perlahan dosen dan mahasiswa juga akan terbebas dari plagiarism. Perlu waktu memang, perlu bimbingan memang, perlu pendampingan memang, dan itu tugas dari Gugus Penjaminan Mutu (GPM). Kita perlu GPM yang berfungsi dengan baik.ALA BISA KARENA BIASA.
Jadi bagaimana, mulai dari dosennya dulu atau mahasiswanya dulu?


Referensi:

Khairurrijal, Prof.  Dr. Eng. Khairurrijal. 2016. Plagiarisme dalam Tulisan Ilmiah dan Kiat Pencegahannya. Seminar Ekspos Hasil Penelitian dan Temu Jaringan LP2M PTKIN Kemenag RI, UIN Sunan Gunung Djati.

http://www.oxforddictionaries.com/. Diakses 29 Agustus 2017.

http://www.merriam-webster.com/. Diakses 29 Agustus 2017.

http://www.ieee.org. diakses 29 Agustus 2017.  


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda